FORUM NASIONAL II

INDUSTRI OBAT DAN ALKES

"

Kemandirian dan Ketahanan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan:
Bagaimana Prospek UU Kesehatan 2023 dan Kemampuan Para Peneliti Kebijakan?

Diselenggarakan oleh

Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan UGM –  Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 13-14 Desember 2023 (Virtual)

diikuti  Workshop Riset Implementasi pada Januari 2024

MATERI & VIDEO

Jadwal Fornas II
Industri Obat & Alkes

Kepesertaan

Fajrul Falah Farhany
Phone: +62 858-6976-0014
Email: fajrul.falah.f@mail.ugm.ac.id

 2023 merupakan tahun disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan yang menggunakan pendekatan Omnibus Law. Dalam UU ini terdapat berbagai pasal tentang Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang ada di Bab IX. Pasal-pasal dalam UU Kesehatan ini diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan percepatan pengembangan dan ketahanan industri sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan, standar, sistem dan tata kelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau wabah.  

UU Kesehatan ini merupakan lompatan regulasi tentang Ketahanan Industri Kefarmasian dan Alkes yang sebelumnya masih berada di level Inpres. Seperti diketahui ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Juni 2016. Mendukung hal tersebut, pada 30 Maret 2022 Presiden menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Inpres ini khususnya mengamanatkan instansi pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diatur persentasenya.

Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) juga sebelumnya telah diatur pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Inpres dan Perpres tersebut tentunya juga mengikat pada obat dan alat kesehatan, dimana instansi pemerintah diamanatkan untuk melakukan pengadaan obat dan alkes yang memiliki TKDN. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk mendorong kemandirian dan ketahanan farmasi serta alat kesehatan.

Pengadaan obat dalam pelayanan kesehatan tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga, ketersediaan bahan baku, dan isu baru, yaitu TKDN. Pengadaan obat juga dipengaruhi oleh sistem pembiayaan kesehatan, dalam hal ini Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Indonesia berupaya mengendalikan biaya obat untuk pasien peserta JKN dengan sistem pengadaan terkonsolidasi melalui lelang elektronik transparan yang dikenal sebagai e-Katalog. Sistem ini terus berkembang dan beberapa kali direvisi, yang terbaru adalah kebijakan “multiwinner-multiprice”, yang juga secara lebih jauh akan berkaitan dengan aspek TKDN.

Aspek penting lain terkait obat adalah kualitas. Obat dengan kualitas rendah akan menghamburkan uang atau anggaran secara sia-sia. Dunia global sendiri memiliki cita-cita untuk menyediakan “akses terhadap obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas dan terjangkau bagi semua” pada 2030.

Kebijakan-kebijakan yang sudah berlaku dan dijalankan tersebut perlu dimonitor pelaksanaannya dan dievaluasi apakah tujuannya tercapai. Dalam konteks kebijakan terkait industri farmasi dan alat kesehatan, berbagai hal yang dapat menghambat perlu diprediksi. Hal-hal yang mungkin menghambat kebijakan adalah: (1) situasi Research and Development yang tidak mendukung; (2) insentif produksi yang tidak berjalan dengan baik; dan (3) ada kemungkinan pembelian alat kesehatan yang didanai oleh pinjaman dari luar negeri tidak secara penuh menggunakan kebijakan untuk mengutamakan produksi lokal, (4) dampak dari kebijakan dumping oleh negara-negara lain. Oleh karena itu diperlukan para peneliti kebijakan yang fokus pada isu terbaru perkembangan obat dan alkes di Indonesia. Jumlah peneliti dalam topik ini masih sangat sedikit dan perlu dikembangkan secara sistematis.

  1. Mencermati perkembangan peraturan pemerintah dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terkait ketahanan industri obat dan alkes.
  2. Membahas pencapaian kegiatan ketahanan industri obat dan alkes di tahun 2022 dan draft kemajuan tahun 2023.
  3. Membahas berbagai penelitian dalam industri obat dan alat kesehatan.
  4. Membahas berbagai potensi hambatan dalam implementasi kebijakan ketahanan industri obat dan alat kesehatan.
  5. Membahas metode penelitian implementasi untuk memonitor pelaksanaan UU Kesehatan 2023.
  • Policy Makers ditingkat pusat (Kemenkes, Kemenperindag, Kemendagri, Kementan, KemenPAN/RB, Bappenas, etc)
  • Regulator ditingkat daerah (Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten, Kota)
  • Pelaku industri mulai dari produsen sampai ke distributor dan pengecer
  • Peneliti Kebijakan Industri Obat dan Alkes di lembaga penelitian dan universitas
  • Funding Organization (PATH, World Bank, etc)
  • APTEMI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Elektromedik Indonesia) dan anggota
  • APKESI (Asosiasi Politeknik Kesehatan Indonesia) dan anggota
  • Pengelola Instalasi Farmasi di Daerah
  • Pengelola Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan di Daerah
  • P4TO (Pusat Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat) seluruh Indonesia
  • Penanggung Jawab ASPAK di Dinas Kesehatan
  • Anggota ASPAKI dan Gakeslab
  • Anggota GP Farmasi
  • Pengurus dan Anggota APTFI
  • Mahasiswa Program Studi S2 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

REPORTASE

Sleman – Pada Rabu, 13 Desember 2023, Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan UGM, Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Forum Nasional Ke-2 dengan Topik “Kemandirian dan Ketahanan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan: Bagaimana Prospek UU Kesehatan 2023 dan Kemampuan Para Peneliti Kebijakan?”. Forum Nasional ini diselenggarakan selama dua hari pada Rabu-Kamis, 13 – 14 Desember 2023 secara hybrid yang bertempat di Common Room PKMK FK-KMK UGM dan platform zoom serta live streaming di YouTube.

PANEL – 1

Pengantar Forum Nasional – Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Pada sambutan kegiatan Fornas kedua, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menyampaikan bahwa fornas kali ini ditujukan untuk para aktivis atau siapapun yang terlibat dalam industri obat serta alat kesehatan yang berasal dari industri, pemerintah dan akademisi. Fornas dengan tema kemandirian dan ketahanan farmasi dan alat kesehatan didasari dengan dibentuknya Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2023. Saat ini UU tersebut masih dalam fase perumusan yang nantinya akan diimplementasikan pada tahun 2024 sehingga perlu untuk dipantau sehingga nanti dapat dievaluasi.

Pada UU tersebut terdapat bab yang membahas ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan yaitu terdapat pada Bab IX. Kebijakan terkait ketahanan industri obat dan alat kesehatan bergantung pada beberapa faktor seperti situasi research and development (R&D), insentif untuk produsen farmasi, dana pinjaman luar negeri untuk membeli alat kesehatan yang dapat membatasi penggunaan produk lokal dan dampak kebijakan dumping atau predatory pricing dari negara lain. Sehingga nanti dalam proses monitoring diperlukan indikator keberhasilan kebijakan ketahanan industri obat dan alat kesehatan. Misalnya terkait dengan alat kesehatan, apakah nanti berupa kenaikan pembelian AKD dan komponen TKDN pada AKD yang semakin tinggi. Maka dari itu pada kegiatan fornas kali dibahas indikator-indikator keberhasilan tadi dan hal-hal lain seperti potensi hambatan implementasi kebijakan serta metode penelitian implementasi untuk memantau pelaksanaan UU Kesehatan Tahun 2023.

Dr. Dra. Lucia Rizka Andalucia, Apt, M.Pharm, MARS – Pemaparan Mengenai Pasal-pasal dan PP UU Kesehatan terkait Ketahanan Industri Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Dalam paparannya, Lucia menyampaikan bahwa dasar dibentuknya UU Nomor 17 Tahun 2023 merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam mewujudkan hak warga negara Indonesia yaitu kesehatan. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang layak. Untuk menyediakan pelayanan kesehatan membutuhkan infrastruktur yang harus dikelola dengan efektif dan efisien. Kemandirian dalam pengelolaan kesehatan yaitu dengan mengupayakan perbekalan pelayanan kesehatan yang dapat diproduksi di dalam negeri. Khususnya untuk sediaan alat farmasi dan alat kesehatan. Untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik. Dalam memperbaiki pelayanan kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk masyarakat, Kementerian Kesehatan telah menyusun agenda transformasi kesehatan. Dimana pada poin ketiga yang dibahas dalam forum ini yaitu transformasi sistem ketahanan kesehatan yang terdiri dari dua pilar yaitu meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan serta memperkuat ketahanan tanggap darurat.

Pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terdapat bab yang membahas terkait dengan ketahanan, kefarmasian, dan alat kesehatan yaitu pada Bab IX. Pada bab ini pemerintah berupaya untuk meningkatkan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan misalnya seperti: mendorong dan mengarahkan litbang obat alam, sediaan farmasi, dan alat kesehatan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia; penguatan tata kelola rantai pasok sediaan farmasi dan alat kesehatan dari hulu ke hilir secara terintegrasi; dan penggunaan dan pemenuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri serta bahan baku produksi dalam negeri. Namun begitu saat ini masih ditemui permasalahan seperti banyaknya hambatan dalam melakukan penelitian dan pengembangan obat dan alat kesehatan. Selain itu industri kesehatan dalam negeri masih bergantung pada bahan baku, obat, dan alat kesehatan yang berasal dari impor. Sebagai penutup, saat ini pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan. Transformasi sistem kesehatan sebagai upaya menciptakan pelayanan kesehatan yang lebih baik, merata dan berkualitas.

Pamian Siregar – Pembahasan tentang Ketahanan Kefarmasian

Dalam paparannya Pamian menjelaskan bahwa permasalahan saat ini di industri farmasi berada di industri hulu. Hampir 90% obat atau produk jadi yang digunakan untuk pelayanan kesehatan yang digunakan di Indonesia sudah bisa dipenuhi industri dalam negeri. Namun begitu ketahanan farmasi saat ini masih lemah karena sekitar 90-95% bahan baku yang digunakan masih berasal dari impor.

Pentingnya ketahanan farmasi dalam rangka mendukung ketahanan kesehatan juga menjadi isu di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan di Eropa. Dimana ternyata saat ini masih tergantung dengan impor bahan baku obat dari India dan China. Saat ini hampir seluruh material yang dibutuhkan dalam memproduksi bahan baku obat masih dipasok dari China. Meskipun saat ini ada beberapa negara sudah mulai mengembagkan industri bahan obat (BBO) dalam negeri. Namun dari hulu penyedia bahan bakunya masih bergantung pada China.

Kekhawatiran pada bidang farmalkes yaitu terjadinya medicine shortages (drug shortages) dimana permintaan (demand) lebih besar dari ketersediaan (supply). Hal ini bahkan dapat terjadi pada negara – negara maju di Eropa seperti Jerman, Finlandia, Belanda, dan Swedia. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan medicine shortages ini seperti permintaan kesediaan obat yang meningkat untuk waktu yang tidak terduga seperti musimu/wabah, terjadinya masalah dalam rantai pasokan, masalah kualitas dalam produksi, dan gangguan selama peoses transportasi. Untuk mengantisipasi hal ini, negara – negara tadi berupaya meningkatkan kemandirian farmasi dan bahan baku obat (BBO) melalui produksi lokal yang melibatkan peran serta pemerintah pada berbagai aspek, bukan hanya regulasi keberpihakan namun juga pendanaan.

Pembahas

Drs Elfiano Rizaldi

Dalam pembahasannya, Elfiano menyampaikan bahwa dengan diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2023 tidak hanya dengan adanya kendala atau aturan yang lebih ketat namun juga semakin banyaknya peluang pasar yang akan bisa dijalankan setelah diberlakukannya UU ini. Industri farmasi saat ini sudah harus mengkaji ulang portofolio produk yang dibuat oleh industri farmasi tersebut maupun portofolio pasar yang akan disasar. Karena pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tersebut banyak sekali terbuka pasar-pasar baru maupun pengembangan-pengembangan yang bisa dilakukan oleh industri farmasi nasional. Misalnya terkait dengan obat bahan alam ini suatu peluang yang baru yang sudah disampaikan dalam undang- undang bahwa bahan alam menjadi salah satu obat untuk pelayanan kesehatan.

Selanjutnya, peluang terkait dengan BBO dimana saat ini sudah ada 38 industri yang sudah memanfaatkan program jensos berupa kemudahan oleh kementerian kesehatan di dalam pembiayaan maupun dalam proses BABE. Ini bisa menjadi peluang bagi industri farmasi dimana penggunaan produk bahan baku dalam negeri menjadi prioritas. Harapannya penggunaan TKDN yang di atas 52% menjadi prioritas dalam pengadaan dalam sektor pemerintah.

Hargo Utomo – Pembahasan tentang Ketahanan Alat Kesehatan

Dalam paparannya terkait ketahanan alat kesehatan, Hargo menyampaikan bahwa terkait undang-undang kesehatan yang akan diimplementasikan ke depan terdapat tiga upaya yang dapat menjadi pemicu dalam ketahanan sistem kesehatan. Hal pertama yaitu upaya gotong royong yang mengajak semua pemangku kepentingan untuk bergerak bersama mulai dari akademisi, industri, maupun regulator. Poin kedua yaitu kesempatan yang luar biasa untuk bergerak maju ke depan dalam konteks kekinian. Terutama dalam hal alur dimana saat ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkuat sisi upstream (hulu). Selanjutnya yang ketiga yaitu momentum bagi para peneliti dan inovator untuk berubah melihat peluang untuk membangun sinergi, interaksi, dan simbiosis mutualisme.

Saat ini tantangan dalam inovasi industri alat kesehatan juga tetap tumbuh, baik dari aspek human capital dimana harus menyiagakan bukan hanya peneliti namun juga pengguna di lapangan, isu supply chain, dan aspek funding. Setelah kejadian pandemi terdapat sebuah gerakan yang luar biasa untuk menerapkan inovasi terbuka (open innovation) yang dapat menjadi momentum untuk membentuk kolaborasi antar pemangku kepentingan (akademisi, industri, dan pemerintah) untuk mempercepat pemunculan inovasi industri alat kesehatan.

Kartono DwidjosewojoKetuaUmum GAKESLAB Indonesia

Dalam pembahasannya, Kartono menyampaikan bahwa dengan adanya UU Nomor 17 Tahun 2023 yang baru ini akan mendukung dalam berkembangnya usaha industri alat kesehatan dan farmasi. Ketahanan alat kesehatan dalam negeri harus dilakukan secara konsisten untuk pengadaan alat kesehatan yang bersumber dari dana pemerintah maupun pendanaan/hibah dari luar negeri. Dengan adanya UU atau inpres tentang pengadaan jasa, pemerintah dapat melakukan perlindungan terhadap produk-produk lokal sehingga akan terhindar dari persaingan perbandingan apple to apple dengan produk impor.

Selanjutnya untuk membangun industri antara yang dirasa masih sulit, diharapkan pemerintah dapat membangun sentra usaha komponen dengan fasilitas dan insentif yang mendukung. Ketahanan alat kesehatan dalam negeri dapat dicapai dengan upaya membangun ekosistem industri yang dapat mendukung penurunan harga produk akhir. Berikutnya terkait upaya business matching antara produsen dan pengguna akhir rumah sakit merupakan solusi instan yang sangat baik, namun dirasa masih berupa solusi jangka pendek, karena kurang sesuai dengan tata niaga distribusi alat kesehatan. Selain itu produsen saat ini masih sulit dalam mencapai sumber bahan baku yang terjangkau. Mengingat wilayah geografis Indonesia yang berupa kepulauan perlu adanya efisiensi harga dan waktu dalam penyediaan alat kesehatan. Karena kesehatan membutuhkan layanan atau self service yang cepat.

Untuk mempermudah dalam rencana pengadaan alat kesehatan, pemerintah dapat menyampaikan kebutuhan alat kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang misalnya dalam 5 tahun kedepan. Hal ini tentunya akan mempermudah pengadaan yang akan dilakukan melalui program pinjaman luar negeri yang akan dilangsungkan. Sehingga produsen dapat mempersiapkan produksi alat kesehatan yang lebih baik.

Imam Subagyo – ASPAKI

Dalam pembahasan yang disampaikan oleh Imam Subagyo, pihaknya mengusulkan bahwa penggunaan produk dalam negeri itu hukumnya adalah wajib, sedangkan pada UU masih menggunakan istilah mengutamakan. Menurut Imam, Saat ini dibutuhkan mental industri di kalangan peneliti. Hal ini didasari oleh fenomena dimana peneliti terkadang mengabaikan regulasi yang sudah ada karena sangat antusias dalam menjalankan penelitian. Regulasi ini bisa terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pengadaan. Terdapat beberapa kasus terkait hal ini misalnya, produk yang dihasilkan oleh universitas tidak dapat dibeli oleh end user di rumah sakit karena belum tersedianya menu pada regulasi untuk membeli produk tersebut. Selain itu terdapat kasus seperti peneliti yang perlu berjuang sendiri terhadap pemasaran produknya yang dirasa sudah bagus. Sehingga kemitraan dengan industri ini sangat diperlukan.

Imam juga mengusulkan adanya suatu wadah yang mudah diakses oleh peneltii dan industri seperti website. Forum seperti ini bisa dimanfaatkan oleh rekan – rekan peneliti dan industri, sehingga jangan sampai ada aktivitas penelitian yang tidak terkoordinasi. Jika ada satu topik penelitian yang sudah dilaksanakan di salah satu universitas maka tidak perlu dilakukan oleh universitas lain. Diperlukan jugA database terkait penelitian dimana mencakup informasi penelitian yang dilakukan, siapa yg melakukan, dan luaran yang dihasilkan.

Reporter:

Rio Aditya Pratama (Divisi e-Health, PKMK UGM)

Pada sesi 1.2a kegiatan diisi oleh Dr. Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM. (Tim kerja peningkatan dan fasilitasi TKDN Alkes dan penggunaan alat kesehatan dalam negeri). Pembahas –   Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes – Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila dan  Drs Elfiano Rizaldi  (Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia). Sesi dipandu oleh APt. Faradiba, M.Pharm.

Laporan Tahunan Ketahanan Industri Kefarmasian tahun 2022

Dr. Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM.

Anwar Wahyudi menjelaskan, industri farmasi Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan, dengan 240 industri aktif pada 2022. Meskipun obat kimia masih mendominasi (66% market leader), Industri farmasi mengalami variasi dari 2018 hingga 2023, kemudian mengalami stagnasi pada 2018-2020, lonjakan impor pada 2021 akibat pandemi, dan penurunan pada 2022. Pertumbuhan Industri Bahan Baku Obat (BBO) mengalami lonjakan lebih dari 10 kali lipat dari 2017 ke 2022. Pemerintah menargetkan penurunan impor sebesar 20% dengan mengembangkan 10 BBO prioritas untuk mencapai ketahanan kefarmasian dalam negeri.

Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/1333/2023 mendorong 45 BBO untuk digunakan dalam negeri guna meningkatkan penggunaan sediaan farmasi dengan bahan baku lokal. Dari jumlah tersebut, 21 BBO telah selesai dikembangkan, termasuk Omeprazole, Garam Farmasi, Simvastatin, Attapulgite, Efavirenz, Clopidogrel, dan lainnya. Pemerintah berkomitmen untuk memfasilitasi penggunaan BBO dalam negeri, terutama melalui program Change Source pada obat-obatan yang memerlukan uji bioekivalensi dalam industri farmasi.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri obat dan BBO meliputi penurunan impor, perubahan permintaan, fluktuasi mata uang, perubahan komoditas, serta transformasi ekonomi digital. Terdapat enam faktor kunci dalam pengembangan industri Bahan Baku Obat di Indonesia, termasuk regulasi pemerintah, keterhubungan antar stakeholder, infrastruktur, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengadaan, dan kondisi nasional.

Penanggap

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes. – Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes. menjelaskan, pengembangan teknologi baru dalam pembuatan obat dan vaksin melibatkan kolaborasi dengan pusat-pusat penelitian internasional. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan siklus hidup produk dalam pasar, termasuk estimasi keberlangsungan produk di pasar yang mungkin terpengaruh oleh faktor musiman. Aspek produksi juga perlu diperhatikan, terutama terkait dampak limbah dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses produksi bahan baku kimia. Persiapan industri kimia dasar harus mempertimbangkan masalah limbah dan bahan baku sebagai bagian penting dari strategi produksi yang berkelanjutan.

Program ketahanan nasional memerlukan prioritas yang terstruktur, bukan hanya deskripsi, melainkan juga formulasi yang terukur secara kuantitatif. Pemahaman dari perspektif penelitian menekankan perlunya data yang komprehensif dan akurat untuk menyusun strategi yang tepat. Dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga mengandalkan data yang kuat untuk merumuskan prioritas yang efektif dalam program ketahanan nasional. Di Indonesia, terdapat akumulasi data yang luas yang telah terkumpul dari berbagai sumber. Informasi mengenai prevalensi penyakit dapat ditemukan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama dengan data terkait layanan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Data tentang volume konsumsi obat tersedia di BPJS Kesehatan, sementara data mengenai penggunaan obat dapat diperoleh dari sumber seperti IQVIA dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Semua sumber data ini memainkan peran penting dalam menyediakan gambaran yang komprehensif terkait sektor kesehatan di Indonesia.

Drs Elfiano Rizaldi  (Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia)

Drs Elfiano Rizaldi, menanggapi bahwa saat ini kebijakan e-katalog sentral belum memberikan prioritas kepada industri yang menggunakan bahan baku lokal. Harapannya adalah pada 2024, Kementerian Kesehatan, terutama Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, dapat mengeluarkan kebijakan yang mendukung Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melebihi 52% dengan kebijakan yang bersifat adil dan baru. Ketidaksetaraan dalam persaingan di e-katalog antara industri farmasi yang menggunakan bahan baku dalam negeri dan yang menggunakan bahan baku impor menjadi perhatian utama. Industri farmasi formulasi yang menggunakan bahan baku lokal mengalami kesulitan dalam transaksi produknya di e-katalog sentral, mengancam keberlanjutan industri ini. Diharapkan adanya perhatian dan langkah konkret untuk memastikan perkembangan yang berkelanjutan bagi industri farmasi bahan baku obat dalam negeri.

Elfiano, memberikan tanggapan terkait ketahanan bahan baku obat, termasuk vaksin dan Tynostik. Apakah bahan baku obat dari bahan alam termasuk dalam lingkup kerja Direktorat Ketahanan Farmasi atau Direktorat Alat Kesehatan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang memprioritaskan penggunaan obat dari bahan alam dalam pelayanan kesehatan. Peran dan lingkup Direktorat yang terkait dengan penggunaan obat-obatan berbahan alam dalam kebijakan kesehatan.

Elfiano menyoroti kebutuhan akan skala prioritas dalam penggunaan bahan baku alam, karena tanpa adanya fokus pada prioritas, upaya pengelolaan banyaknya bahan baku alam di Indonesia menjadi tidak terarah. Pihaknya memberi contoh Korea Selatan yang berhasil menonjolkan ginseng mereka di pasar global sebagai contoh bagaimana Indonesia bisa mengambil langkah serupa. Elfiano menggarisbawahi pentingnya pengumpulan data yang komprehensif, seperti yang disampaikan Yusi, untuk memetakan dan menetapkan prioritas penggunaan bahan baku alam dalam produksi obat-obatan. Ini menjadi landasan untuk mengarahkan fokus serta upaya dalam pengembangan produk obat dari bahan alam di Indonesia.

Pertanyaan ketiga apakah produksi bahan baku obat di Indonesia akan mengarah pada penghentian impor obat-obatan tersebut. Anwar telah menyampaikan neraca komoditas terkait produksi bahan baku obat dalam negeri kepada kementerian terkait. Saat ini, penggunaan bahan baku obat lokal hanya diwajibkan dalam pengadaan sektor pemerintah yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), namun aturan ini tidak berlaku di sektor swasta. Dampaknya adalah beberapa industri farmasi memiliki dua lini produksi, salah satunya menggunakan bahan baku lokal untuk pemerintah dan yang lain menggunakan bahan baku impor untuk pasar swasta. Hal ini menyoroti perbedaan kebijakan yang mempengaruhi penggunaan bahan baku obat dalam negeri di sektor pemerintah dan swasta dalam industri farmasi.

 

Reporter:

Indra Komala (PKMK UGM)

Sesi 1.3  diisi oleh Taufiq Adiyanto (Pusat studi Perdagangan UGM), Ondri Dwi Sampurno (Tenaga ahli dan penelitian kebijakan farmasi), Roy Himawan, S. Farm., Apt., M.K.M (Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI). Sesi dipandu oleh Ni Lu Putu Eka Andayani, SKM., M.Kes (PKMK FK UGM)

Global regulation for procurement terkait dengan Produksi Lokal dan NIE

Taufiq Adiyanto, S.H., LL.M.

Taufiq menyebutkan ada dua isu utama terkait izin produk alat kesehatan dan nomor izin obat. Menteri Kesehatan berencana meminjam 4 miliar USD dari World Bank untuk meningkatkan standar dan infrastruktur alat kesehatan di Indonesia, karena 70% pasokan alat kesehatan masih impor. Pemetaan regulasi internasional akan berbenturan dengan isu TKDN dan NIE. Indonesia sudah meratifikasi double WTO agreement sejak 1994.  Terdapat 4 pasal : (1) Pasal III National Treatment on Internal Taxation and Regulation di GATT WTO (2) Pasal 3 WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) (3) Pasal IV WTO Agreement on Government Procurement (GPA) (4) Pasal 2.1 WTO Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT). Dari 4 Pasal wajib diikuti 1,2 dan 4, sedangkan nomor 3 masih plurilateral.

Secara spesifik, WTO Government Procurement Agreement merupakan perjanjian yang bersifat plurilateral. GPA memiliki prinsip inti berupa non-diskriminasi, transparansi, dan keadilan prosedural. Indonesia berstatus observer WTO GPA belum sebagai anggota utuh, akan tetapi Indonesia akan berencana akan menjadi anggota OECD berpusat di Paris Prancis salah satu syarat menjadi anggota OECD melakukan ratifikasi WTO GPA akan mengikat Indonesia.

Regulasi Nasional dalam Mendorong P3DN terdapat lima regulasi: UU 3/2014 jo. UU 6/2023 tentang Perindustrian, PP 29/2018 tentang Pemberdayaan Industri, Perpres 16/2018 jo. 12/2021 tentang Pengadaan B/J Pemerintah, UU 17/2023 tentang Kesehatan, Permenkes 62/2017 jo. 26/2018 tentang Izin Edar Alat Kesehatan.

Benchmarking Local Production di berbagai negara (Sektor Farmasi)

Ondri Dwi Sampurno

Ondri Dwi Sampurno, menjelaskan lokal production ini kembali mendapat perhatian yang lebih besar saat ini. Sebelumnya, perbincangan seputar lokal production terkait dengan krisis kesehatan terjadi akibat pandemi COVID-19. Hal ini menggerakkan banyak negara untuk kembali membahas tentang pentingnya lokal production. Keterkaitan antara lokal produksi dan akses terlihat dari data yang menunjukkan bahwa ada sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia yang tidak dapat memperoleh obat-obatan yang mereka butuhkan.

Lokal produksi telah menjadi topik diskusi di WHO sejak 1970-an. Secara kebijakan, melibatkan tiga lembaga dunia seperti UNIDO, UNCTAD, dan WHO, 3 badan dunia ini sudah membahas sejak tahun 70-an. UNIDO dan UNCTAD berfokus pada transfer teknologi sementara WHO pada masa itu mengadvokasi program vaksin dan obat esensial.

Aspek yang mendorong produksi lokal dalam sektor farmasi melibatkan berbagai tahapan kebijakan, dimulai dari hulu hingga hilir, yang mencakup aspek research hingga marketing. Sebagai contoh di Cina, regulasi menekankan pentingnya produksi lokal di tahap hilir dengan adanya persyaratan produksi lokal yang menjadi kewajiban bagi peserta tender dalam negeri. Untuk Indonesia, belum semua tahap produksi tersebut terlaksana, sementara China dan Brazil hampir mencakup seluruhnya. Sementara itu, Rusia telah memiliki persyaratan clinical trial yang wajib dilakukan di dalam negeri, serta proses fill and finish serta packaging yang juga diatur dengan ketat di Rusia.

Kedua negara memiliki kebijakan yang mendorong produksi lokal dalam sektor farmasi dengan strategi berbeda yang melibatkan larangan impor, persyaratan produksi dalam negeri, uji klinis lokal, diskon pemerintah, dan fokus pada konten lokal serta transfer teknologi untuk meningkatkan nilai produksi lokal.

Lesson learnt kebijakan produksi lokal sektor Farmasi dari beberapa negara diantaranya, kebijakan produksi lokal sektor farmasi diarahkan pada aspek dari hulu ke hilir uji klinis (riset, uji klinik, uji rantai pasok, kegiatan komersial). Kebijakan produksi lokal berbasis kemitraan. Dorongan dan dukungan pemerintah kepada industri farmasi dalam kebijakan produksi lokal sektor farmasi yaitu (perlindungan kekayaan intelektual, pembatasan dan pengurangan volume impor untuk yang sudah dapat produksi lokal, transfer teknologi, percepatan proses registrasi, preferensi harga tender, fasilitasi ekspor, reimburse biaya obat, pembatasan supplier asing dalam rantai pasok lokal. Adanya evaluasi dampak kebijakan produksi terhadap aktivitas ekonomi maupun inovasi.

Reporter:

Indra Komala (PKMK UGM)

Sesi 1.4 kegiatan ini diisi oleh Roy Himawan, S. Farm., Apt., M.K.M (Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI). Sesi dipandu oleh Prof. Dr. Apt., Bondan Ardiningtyas, M.Si (Fakultas Framasi UGM)

 

Situasi di Tahun 2023 dan Outlook ke Tahun-tahun Mendatang

Roy Himawan, S. Farm., Apt., M.K.M

Roy Himawan, S. Farm., Apt., M.K.M menentukan fokus atau main map dalam kebijakan ketahanan kesehatan adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Undang-undang ini secara khusus memberikan mandat kepada pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama membangun ketahanan dalam sektor farmasi dan kesehatan melalui tujuh upaya yang telah dilakukan, antara lain dengan: (1) Mendorong dan mengarahkan litbang Obat bahan alam, Sediaan Farmasi dan Alkes dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia. (2) Kemandirian Sediaan Farmasi dan Alkes melalui pengembangan dan penguatan tata kelola rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alkes dari hulu hingga hilir secara terintegrasi. (3) Prioritas insentif bagi industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan berupa fiskal dan nonfiskal. (4) Mengutamakan penggunaan dan pemenuhan Sediaan Farmasi dan Alkes dalam negeri serta bahan baku produksi dalam negeri. (5) Obat generik International Nonproprietary name yang dipasarkan di Indonesia hanya boleh dibuat oleh industri farmasi dalam negeri. (6) Hilirisasi penelitian nasional dengan membangun ekosistem penelitian (infrastruktur penelitian, kemudahan perizinan penelitian dan pendukung penelitian, dan sumber daya manusia). (7) Mitigasi risiko Sediaan Farmasi, Alkes, dan Perbekkes yang diperlukan dalam kondisi darurat, bencana, KLB atau Wabah. Hal ini kemudian menjadi poin-poin utama dari payung kebijakan yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah dalam berbagai bentuk yang bertujuan untuk mencapai ketahanan dalam sektor kesehatan.

Dalam Kepmenkes RI No. HK.01.07/Menkes/1333/2023, sediaan farmasi diwajibkan menggunakan bahan baku produksi dalam negeri dengan tingkat kandungan minimal 52% untuk obat dan obat tradisional, serta minimal 70% untuk vaksin dan serum. Persyaratan ini berlaku dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diatur melalui Katalog Elektronik Sektoral Kementerian Kesehatan. Terdapat 62 item bahan baku obat yang dapat diproduksi dan siap digunakan, terdiri dari 45 item bahan baku obat, 2 item bahan baku alami, 3 item bahan baku produk biologi, dan 12 item zat aktif vaksin dan serum.

Penambahan Jenis Alat Kesehatan (Alkes) yang beredar hingga 2023 menunjukkan pertumbuhan pasar Alkes dalam negeri yang terus berkembang, tercermin dari bertambahnya jenis Alkes dan industri terkait. Jumlah izin edar untuk alat kesehatan dalam negeri telah meningkat sebesar 97,5% dalam 3 tahun terakhir, dan diperkirakan akan terus meningkat. Pertumbuhan industri alat kesehatan dalam negeri selama 3 tahun terakhir mencapai 18,8%.

Seiring dengan pertumbuhan GDP 4,98% selama 5 tahun ke depan, belanja kesehatan akan terus meningkat. Tren Kenaikan PDB Indonesia Kenaikan PDB Indonesia 2018-2028 (in %). Belanja Kesehatan di Indonesia Health Expenditure Trend 2013-2021* (in IDR)

Transformasi Kesehatan sebagai insentif yang ditargetkan. Perluasan skrining dan deteksi, termasuk layanan rujukan kesehatan yang semakin merata. Pemerataan layanan rujukan ini melalui optimalisasi jejaring RS nasional untuk penyakit yang diutamakan dengan target mencapai 100% di setiap Kabupaten/Kota pada 2027.

Tanggapan:

Seisar Ariestadi – IQVIA

Pasar obat di Indonesia, menurut data yang dimiliki IQVIA hingga periode 3Q2023, menunjukkan pertumbuhan yang masih sedikit di atas 2% untuk obat-obatan farmasi. Namun, jika dianalisis dalam rentang empat tahun, pertumbuhannya sebenarnya masih di atas 5%. Dalam analisis lebih mendalam, pihaknya mencoba memahami dari mana sebenarnya sumber pertumbuhan pasar ini.

Bimo Wijayanto-Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden

Penyempurnaan rencana yang telah diatur oleh pemerintah memerlukan sebuah platform di mana semua pihak dapat berpartisipasi untuk mendukung rencana tersebut. Hal ini termasuk dalam mengevaluasi dukungan yang telah ada sebagai bagian dari satu tujuan, sehingga kita semua dapat merasakan dampak dari kebijakan yang telah diberlakukan oleh pemerintah.

 

Reporter:

Indra Komala (PKMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Penelitian kebijakan perlu dikonsolidasikan untuk menghadapi kebijakan besar yang tercantum dalam UUD Kesehatan 2023 agar dapat menjadi informasi kunci. UU telah menjadi pemicu dengan kebijakan yang sangat kuat, meskipun masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Tujuan pertemuan pada hari pertama adalah memeriksa perkembangan peraturan pemerintah yang terkait dengan Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Diskusi juga akan mencakup pencapaian Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan pada  2022 serta rancangan progres untuk 2023.  Tujuan dari fornas tercapainya menjaring para peneliti, industri, kemenkes dan dinkes sebagai regulator.

Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt, menyatakan pendapatnya dari peraturan Kementerian Kesehatan sudah sangat diatur dalam fasilitas atau sarana sapor untuk industri agar menggunakan produksi mandiri. satu yang sejang, bagaimana bahan untuk diproduksi oleh industri. Bagaimana yang mengatur tentang penelitian yang akan menyiapkan bahan-bahan yang akan diproduksi oleh industri.  selama ini penelitian itu di penelitian tentang obat dibawah BRIN.  Pada waktu itu pihaknya diberi kesempatan untuk mengusulkan apa yang akan diajukan untuk menjadi topik penelitian, lalu muncul usul-usul sehingga timnya maju dengan paracetamol, ada yang maju dengan amoxicillin. Untuk menyiapkan hasil penelitian ini sepertinya harus ada peraturan juga, namun ini apakah di bawah siapa? Apakah Kementerian Kesehatan? karena Kemenkes belum membahas tentang ini, apakah ada di Kementerian Perindustrian atau di bawah BRIN atau dimana tapi harus ini ada. Penelitian harus terintegrasi khusus untuk mengomando mengawal dari awal sampai akhir.

Realist Evaluation

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, menyatakan penelitian kebijakan saat ini menunjukkan minimnya keterlibatan peneliti dan pemahaman yang cukup terkait riset kebijakan. Banyak pemerhati dan industri obat serta alat kesehatan yang belum terlibat secara signifikan dalam proses kebijakan. Hal ini menciptakan kesan bahwa kebijakan terasa terisolasi dari realitas sebenarnya. Pentingnya kemampuan peneliti kebijakan mencakup pemahaman yang luas terhadap kebijakan dalam berbagai sektor seperti kesehatan, pertanian, pendidikan, industri, dan lainnya. Peneliti kebijakan juga dapat dibagi berdasarkan fokusnya, seperti ilmu dasar, klinik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu biomedik, dan epidemiologi. Peneliti kebijakan umumnya berasal bukan dari fakultas kesehatan, melainkan dari fakultas ilmu sosial dan politik (FISIPOL) atau bidang ilmu lainnya seperti ilmu farmasi, gizi, atau biologi. Proses monitoring dan evaluasi penting untuk menentukan kapan dan sejauh mana implementasi kebijakan berlangsung. Analisis kebijakan, yang didasarkan pada penelitian, juga membutuhkan metode yang tepat. Namun, perlu dipertimbangkan apakah para ahli di bidang penelitian dasar, epidemiologi, atau klinis siap atau memiliki keterampilan untuk meneliti proses kebijakan ini.

Dalam konteks topik kesehatan, pemahaman ilmu kebijakan memungkinkan peneliti, seperti epidemiologis atau peneliti klinis dasar, untuk mengelola riset implementasi. Analisis kebijakan adalah proses multidisiplin yang bertujuan untuk menghasilkan, mengevaluasi, dan menyampaikan informasi terkait kebijakan dengan fokus utama pada pemecahan masalah. Ini melibatkan penggunaan kriteria dan teknik evaluasi untuk mempertimbangkan berbagai opsi kebijakan dan memilih yang paling mendukung implementasi kebijakan secara efisien serta pengelolaan sumber daya publik dengan lebih merata.

Analisis kebijakan terfokus pada dua aspek utama: eksplanasi dan preskripsi. Proses analisis ini bertujuan untuk menemukan hubungan sebab akibat dalam kebijakan yang diimplementasikan. Penelitian kebijakan melibatkan analisis kebijakan secara menyeluruh. Meskipun analisis dan riset biasanya dianggap sebagai entitas terpisah, dalam konteks ini, riset dan analisis digabungkan untuk menjadi alat advokasi kebijakan. Analisis kebijakan tidak selalu melibatkan riset secara langsung, tetapi mungkin memanfaatkan hasil riset dari pihak lain.

Dalam kerangka pemikiran implementasi riset, berbagai elemen terkait seperti kepemimpinan, kebijakan, manajemen sumber daya manusia, keuangan, kemitraan, dan pendidikan sangat penting. Implementasi riset yang berhasil dapat menghasilkan dampak positif dalam hal kesetaraan, efektivitas, efisiensi, dan kualitas. Namun, ada juga risiko implementasi yang buruk, di mana kebijakan yang baik tidak berjalan sebagaimana mestinya karena pelaksanaannya yang kurang baik. Hal ini merupakan situasi yang sering terjadi di berbagai kegiatan. Oleh karena itu, mengevaluasi implementasi riset melibatkan analisis seluruh aspek implementasi, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan serta hasil akhir dari implementasi yang sedang diteliti.

Kesimpulan dari Laksono, adanya harapan untuk mencapai kesepakatan terkait waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang akan melakukan analisis serta fokus mana yang menjadi prioritas untuk dianalisis dalam proses tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya koordinasi antara pihak-pihak terkait untuk menetapkan waktu dan metode analisis yang akan digunakan dalam melakukan pemantauan terhadap implementasi UU kesehatan tersebut.

 

Riset Implementasi

Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D.

Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D menjelaskan riset implementasi membahas topik-topik terkait penerapan kebijakan, program, atau praktik individu terkait dengan kesehatan, namun dapat diterapkan juga pada bidang lain selain kesehatan. Fokusnya termasuk efektivitas obat-obatan dan evaluasi bagaimana program atau kebijakan di lapangan diterima dan diimplementasikan oleh pelaksana. Pentingnya riset implementasi adalah untuk mengevaluasi sejauh mana program yang diimplementasikan di lapangan sesuai dengan kebutuhan, serta mengidentifikasi tantangan yang spesifik yang mungkin tidak terduga oleh pembuat kebijakan atau perancang program.

Mengidentifikasi tantangan dalam implementasi program atau kebijakan penting untuk membantu pembuat kebijakan membuat perbaikan, seperti menyesuaikan pedoman teknis atau juknis yang lebih spesifik. Model logika digunakan dalam kebijakan untuk memahami prosesnya, dari input, proses, output, hingga outcome. Output sering dianggap sebagai hasil dari suatu program atau kebijakan, contohnya dalam kebijakan katalog elektronik obat dan alat kesehatan. Input yang diperlukan untuk menjalankan program tersebut termasuk sumber daya, dana, infrastruktur obat, pedoman, dan juknis. Prosesnya melibatkan sosialisasi, pelatihan, dan proses registrasi dalam katalog elektronik.

Implementasi program substitusi obat dan alat kesehatan impor dengan produk dalam negeri pada katalog elektronik memiliki output berupa peningkatan jumlah produsen obat dan alat kesehatan dengan TKDN mencapai lebih dari 52%. Outcome jangka panjangnya adalah peningkatan penggunaan produk kesehatan dalam negeri oleh masyarakat dan peningkatan kesadaran akan produk-produk kesehatan.

Implementasi intervensi, baik dalam bentuk kebijakan maupun program, melibatkan proses yang kompleks. Misalnya, dalam kebijakan substitusi alat kesehatan dan obat dari dalam negeri, prosesnya dimulai dari penerapan kebijakan di tingkat pusat, yang kemudian memerlukan tahap sosialisasi dan diskusi dengan sektor swasta, pemerintah provinsi, serta pemerintah daerah termasuk kabupaten/kota. Salah satu aspek penting dalam implementasi adalah acceptability, yakni seberapa diterimanya kebijakan ini oleh berbagai pihak di luar yang membuat kebijakan, seperti Kementerian Kesehatan, sektor swasta, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah serta para pemangku kepentingan terkait. Tingkat acceptability ini menjadi salah satu keluaran awal dari proses implementasi.

Setelah pembuatan kebijakan di tingkat pusat dan diterima oleh sektor swasta serta pemerintah daerah, langkah selanjutnya adalah implementasi di unit atau produksi yang terkait dengan kebijakan baru. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana program baru ini bisa dijalankan. Contohnya, dalam industri farmasi atau melalui proses e-katalog, penting untuk menilai sejauh mana kebijakan ini dapat diimplementasikan oleh dinas kesehatan atau puskesmas. Terdapat 8 contoh keluaran di riset implementasi: acceptability, fidelity, coverage, adoption, implementasi cost, appropriateness, feasibility, sustainability.

Riset implementasi berfokus pada keluaran implementasi, tidak hanya pada hasil programnya. Riset operasional, yang sering dilakukan di industri, bertujuan untuk meningkatkan produksi dengan meninjau input, proses, dan output yang dapat ditingkatkan.

Perbedaan antara studi kuantitatif dan kualitatif bukanlah pada substansi, melainkan pada pendekatan yang digunakan. Riset implementasi dapat menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif, sehingga dapat menggunakan data berupa angka, seperti jumlah produksi obat atau jumlah produsen dalam katalog, yang bisa dianalisis dan digunakan dalam riset implementasi program.

Riset implementasi berfokus pada tindakan nyata untuk merealisasikan rencana aksi. Terdapat tiga jenis tindakan yang tercakup dalam riset implementasi, yaitu kebijakan, program, dan praktek individu. Banyaknya variabel yang terlibat, seperti sustainability (kelangsungan) dan visibility (visibilitas), mempengaruhi sejauh mana kebijakan dapat diimplementasikan. Diperlukan upaya sosialisasi yang menyeluruh dari puncak ke bawah (top-down) untuk memastikan pihak di lapangan memahami dan menerapkan kebijakan atau program yang telah ditetapkan.

 

Tanggapan:

Putu Eka Andayani

Apakah relevan dari RS mempelajari teknik riset implementasi dan seperti apa contohnya yang bisa dilakukan di level RS?

Tanggapan dr. Likke: sangat relevan karena banyak program atau kebijakan di internal RS maupun diluar RS. Internal RS ada inovasi-inovasi, bagaimana menentukan kualitas pelayanan, bagaimana meningkatkan kepuasan pelanggan bisa menerapkan aspek implementasi. untuk meningkatkan kepuasan pelanggan bisa menggunakan mobile aplikasi untuk pengaduan dari pelanggan.

Prof. Laksono menyatakan kebijakan penggunaan AKD (lokal production) TKDN di RS, konteks implementasi acceptable sering mendengar tenaga kesehatan tidak mau menggunakan produk dalam negeri. 

Reporter: Indra Komala (PKMK UGM)

Pada sesi ini terdapat 3 narasumber yaitu Apt. Hesty Utami R, M.Clin.Pharm., PhD. (CEPHAS, Universitas Pancasila), Apt. Mawaddati Rahmi, M.Farm (CEPHAS, Universitas Pancasila) dan Elza Gustanti, S.Si., Apt, M.H (Ditjen Farmalkes Kemenkes). Sesi ini dimoderatori oleh Apt. Faradiba, M.Pharm dari Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila.

Apt. Hesty Utami R, M.Clin.Pharm., PhD.
(CEPHAS, Universitas Pancasila)

Estimasi Prevalensi, Dampak Kesehatan dan Ekonomi Obat-obatan di Bawah Standar dan Palsu dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia

Pada sesi ini, Apt. Hesty Utami R, M.Clin.Pharm., PhD. memaparkan hasil studi Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds). Studi ini menggunakan 5 jenis obat-obatan yang menjadi sampel, yaitu Cefixime, Dexamethasone, Amlodipine, Allopurinol, dan Amoxicillin. Total 1274 sampel diambil dari berbagai toko/penjual, seperti apotek, rumah sakit, klinik, hingga marketplace yang  belum teregulasi di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan Hesty, 95.1% dari obat-obatan yang menjadi sampel studi ini sudah memiliki kualitas yang baik dan memenuhi standar mutu obat. Hasil studi ini dinilai cukup sebanding dengan hasil Post Market Surveillance oleh Badan POM pada 2021, yang mana temuannya menunjukkan bahwa prevalensi obat-obatan yang tidak memenuhi syarat di Indonesia adalah sebesar 4%. Tak hanya itu, studi ini juga menghasilkan temuan bahwa tidak ada keterkaitan antara harga dengan kualitas obat. Dengan kata lain, harga lebih mahal tidak menjamin kualitas obat, karena masih ditemukan obat-obat bermerek dagang yang masih di bawah standar mutu.

Hesty turut menyebutkan bahwa dalam studi dan perhitungan kualitas obat di level nasional, tidak harus menggunakan sampel yang besar, tetapi perlu desain sampel yang benar dan tepat. Selain itu, juga diperlukan kerjasama lintas institusi untuk mendapatkan database yang lengkap dan mendukung kajian-kajian dalam rangka memenuhi kebutuhan obat yang berkualitas di Indonesia.

Apt. Mawaddati Rahmi, M.Farm (CEPHAS, Universitas Pancasila) – Kajian Tata Kelola Obat JKN 2022: Peran BPJS Kesehatan dalam Belanja Obat Strategis

Berdasarkan pemaparan oleh apt. Mawaddati Rahmi, M.Farm, telah dilakukan FGD pada level fasilitas kesehatan serta level industri/distributor untuk menggali kendala dan faktor yang mempengaruhi tata kelola obat JKN. Kendala pada level fasilitas kesehatan mencakup kemampuan SDM pengadaan, proses perencanaan yang tidak optimal, perbedaan harga, waktu tunggu obat yang lama, serta keterbatasan dana. Sementara itu, kendala pada level industri mencakup ketersediaan bahan baku serta adanya proses pengadaan yang dilakukan secara manual atau tidak melalui e-purchasing, sehingga pengadaan menjadi terhambat.

Kajian ini juga membandingkan skema JKN di Indonesia dengan negara lain, yaitu Universal Coverage Scheme (UCS) di Thailand. Menurut Mawaddati Rahmi, jaminan kesehatan di Thailand dapat melakukan audit obat di fasilitas kesehatan, sementara sistem BPJS Kesehatan di Indonesia belum mendukung hal tersebut. BPJS Kesehatan juga tidak terlibat dalam penyediaan obat dan hanya mendapat laporan terkait penggunaan obat oleh peserta JKN.

Berkaitan dengan kendala tersebut, hasil kajian ini menghasilkan rekomendasi untuk dapat melibatkan BPJS Kesehatan secara aktif dalam strategi e-purchasing obat-obatan. Hal ini dapat ditempuh dengan membentuk kelompok kerja obat dalam BPJS sehingga dapat memantau permasalahan ketersediaan serta efisiensi pengadaan obat. Selain itu, BPJS Kesehatan juga dapat memberi masukan dan rekomendasi obat kepada fasilitas kesehatan, sehingga tidak hanya bergantung pada obat dengan harga termurah.

Elza Gustanti, S.Si., Apt, M.H (Ditjen Farmalkes Kemenkes) – Penelitian tentang Harga Obat dengan BBO Lokal Dibandingkan dengan Import

Pembicara terakhir, Elza Gustanti, S.Si., Apt, M.H, menyampaikan hasil monitoring terkait perbandingan harga antara obat dengan bahan baku (BBO) lokal dan impor. Pemerintah Indonesia telah memfasilitasi upaya change source untuk meningkatkan penggunaan BBO dalam negeri pada 10 BBO konsumsi terbesar. Hingga saat ini, sudah ada 3 BBO yang telah selesai dilakukan change source hingga Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) > 52%, yaitu Omeprazol (53,33%), Clopidogrel (68,33%), dan Atorvastatin (67,94%).

Berdasarkan hasil kunjungan Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan ke beberapa industri farmasi, terdapat beberapa kendala implementasi TKDN > 52% dalam obat-obatan, di antaranya harga BBO dalam negeri yang lebih tinggi, permintaan obat dengan TKDN > 52% yang cenderung lebih sedikit, serta nilai klaim harga obat yang lebih rendah dibandingkan harga obat dengan nilai TKDN > 52%.

Meskipun begitu, hasil monitoring menunjukkan bahwa harga obat dengan BBO lokal cenderung masih bisa bersaing dengan obat dengan BBO impor di Indonesia. Menurut Elza, jika perbedaan harga tidak terlalu jauh dan industri formulasi obat semakin berkembang, maka harga BBO dalam negeri diprediksi dapat turun.

Menindaklanjuti hasil monitoring, diperlukan jaminan pasar terhadap obat dengan BBO lokal  agar implementasi penggunaan BBO produksi dalam negeri dapat berjalan baik. Jika jaminan pasar terhadap obat dengan BBO produksi dalam negeri telah terpenuhi, maka harga BBO dalam negeri dapat lebih ditekan. Selain itu, upaya ini juga dapat didukung dengan memastikan produksi industri farmasi BBO dapat memenuhi kebutuhan bahan baku nasional serta mendorong fasilitas kesehatan untuk menggunakan obat dengan TKDN > 52%.

Sesi ini dipandu oleh Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo. selaku moderator. Sesi ini berisi pemaparan hasil penelitian tentang alat kesehatan dari 3 narasumber yakni Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, M.Kes. (PKMK FK-KMK UGM) yang memaparkan Percepatan Pembangunan Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan (UPAK) di Daerah untuk Mendukung Pengelolaan Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan yang Lebih Baik di Indonesia; Dr. apt. Bondan Ardiningtyas, M.Sc. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada) yang berbicara mengenai Studi Eksploratif Pelaksanaan Research and Development Industri Alat Kesehatan di Indonesia; dan Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt. (Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan, UGM) yang berbicara mengenai Studi Lapangan tentang Kebijakan Cyclotron-PET-CT di Australia dengan di Indonesia.

 

Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, M.Kes. (PKMK FK-KMK UGM)

Percepatan Pembangunan Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan (UPAK) di Daerah untuk Mendukung Pengelolaan Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan yang Lebih Baik di Indonesia

Putu menyampaikan bahwa pemerintah melalui upaya transformasi kesehatan sedang masif mendistribusikan alat-alat kesehatan sesuai dengan program prioritas kepada fasilitas pelayanan kesehatan primer atau puskesmas di seluruh Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Namun, masih banyak puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan primer lain yang belum bisa memelihara alat kesehatannya sehingga ketika menjumpai alat kesehatan yang rusak, maka mereka lebih memilih untuk membeli alat kesehatan baru tanpa memperbaikinya terlebih dahulu.

Maka dari itu, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan sedang mengembangkan Regional Maintenance Center (RMC)/ Unit Pemelihara Alat Kesehatan (UPAK). Adanya UPAK didukung dengan munculnya Permenkes Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pemeliharaan Alat Kesehatan. Dalam bisnis prosesnya, UPAK dapat berbentuk UPT maupun unit fungsional dibawah bidang SDK Dinas Kesehatan. Kebanyakan UPAK saat ini masih melakukan pemeliharaan secara korektif, sesuai dengan permintaan dari Puskesmas, belum banyak UPAK yang melakukan pemeliharaan secara preventif yang terjadwal dari awal tahun. Lebih lanjut, UPAK saat ini belum tersebar secara menyeluruh di seluruh provinsi yang ada di Indonesia, padahal seharusnya UPAK diharapkan ada di kabupaten/kota seluruh Indonesia. Dukungan pemerintah daerah terkait adanya UPAK juga bervariasi, masih banyak Pemda yang belum memberikan dukungan dengan baik.

Saat ini, berdasarkan pemetaan, masih banyak UPAK yang belum memiliki SDM Elektromedis, akhirnya tim PKMK UGM menginisiasi membuat pelatihan teknis UPAK. Selain itu, tim UGM juga membuat pelatihan manajemen bagi UPAK yang sudah memiliki SDM elektromedis dan sudah berjalan dengan baik untuk meningkatkan kualitas manajemen dan mutu dari UPAK. Jika dimanfaatkan dengan baik, UPAK bisa menjadi salah satu sumber pendapatan melalui pola tarif yang diterbitkan oleh pemerintah daerahnya masing-masing.

Tim PKMK UGM membuat policy brief untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Roadmap tentang UPAK sebagai panduan untuk Kementerian Kesehatan sebagai target yang perlu dicapai di masa depan.

Dr. apt. Bondan Ardiningtyas, M.Sc. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada)

Studi Eksploratif Pelaksanaan Research and Development Industri Alat Kesehatan di Indonesia

Bondan menyampaikan bahwa kondisi saat ini belanja alat kesehatan didominasi produk impor, anggaran penelitian tentang alat kesehatan di Indonesia masih rendah, dan dukungan pemerintah juga dirasakan masih rendah. Tingginya biaya R&D dengan potensi kegagalan membuat biaya riset baik dari pemerintah maupun industri masih rendah.

Jika kita berbicara mengenai sumber pendanaan, terdapat 93,3% menggunakan pendanaan dari internal perusahaan. Fakta lain yang ditemukan yakni industri mengembangkan ide berdasarkan riset yang dilakukan oleh mereka sendiri, padahal selama ini pendanaan pemerintah lebih banyak digelontorkan oleh peneliti di universitas, hal ini menjadi kurang relevan karena industri tidak banyak menggunakan ide dari perguruan tinggi.

Kategori produk alat kesehatan non elektromedis paling tinggi dikembangkan oleh industri alat kesehatan, walaupun ada juga yang mengembangkan tentang elektromedis. Hal ini perlu diperhatikan oleh para peneliti agar terdapat kesesuaian antara tema penelitian dengan apa yang dikembangkan oleh industri alkes.

Komitmen dan rencana R&D pada industri alkes sudah baik, mereka sadar bahwa perlu melakukan penciptaan, penyempurnaan dan modifikasi produk alat kesehatan dengan harga terjangkau dengan mutu terbaik. Mereka juga sadar bahwa isu lingkungan patut mendapatkan perhatian yang cukup dari industri alkes.

Bondan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait perlunya membangun dan memperkuat sinergi dan kolaborasi antara perguruan tinggi, pengusaha, manufaktur alat kesehatan dan pemerintah; mengadakan business matching dan forum komunikasi; mengadakan pelatihan-pelatihan secara intensif untuk meningkatkan kompetensi; ada alokasi anggaran pemerintah untuk meningkatkan R&D industri dan peneliti alkes; regulasi yang memihak salah satunya dengan menyusun kebijakan dan strategi pengembangan industri alkes dengan mempertimbangkan gap yang ada.

Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt. (Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan, UGM)

Studi Lapangan tentang Kebijakan Cyclotron-PET-CT di Australia dengan di Indonesia

Hilda menyampaikan mengenai PET-CT. PET CT merupakan salah satu metode diagnostik yang mampu mendeteksi proses biokimia serta ekspresi beberapa protein dengan memberikan informasi untuk diagnostik kanker tingkat lanjut. PET-CT di Australia berkembang dengan pesat, jumlahnya ada 80 unit, sedangkan di Indonesia hanya 5 PET-CT untuk meng-cover 275 juta penduduk. Harga layanan PET-CT di australia lebih murah, sekitar ⅓ kali lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia.

Regulasi Radiofarmaka di Australia diatur oleh TGA semacam BPOM di Indonesia. PET – CT dilaksanakan tidak hanya dilakukan di RS, namun dilakukan di layanan primer sehingga MTIC diakses oleh pasien BPJS-nya Australia dengan cost sharing. Pada intinya, jika regulasi dari pemerintah dan didukung dengan pembiayaan yang memadai maka layanan dapat berjalan dengan baik.

Reporter: Fajrul FF (Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK UGM)

Editor: Wiwid

Sesi ini dipandu oleh Apt. Rasta Naya Pratita, MKM dari Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila  selaku moderator. Sesi berisi materi mengenai Data Kamus Industri Farmasi Alat Kesehatan: Membuka era baru untuk penelitian kebijakan industri farmasi yang disampaikan oleh Suryastri Boni (Head of Tribe Farmasi dan Alat-alat Kesehatan DTO Kemenkes) dan alat kesehatan dan Analisis Situasi Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan untuk Produksi Obat dan Vaksin di Indonesia yang disampaikan oleh Prof. Dr. apt. Susi Ari Kristina, M.Kes. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada).

 

Suryastri Boni (Head of Tribe Farmasi dan Alat-alat Kesehatan DTO Kemenkes)

Diskusi Mengenai Data Kamus Industri Farmasi dan Alat Kesehatan oleh DTO; Membuka Era Baru untuk Penelitian Kebijakan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan

Boni menyampaikan bahwa Kamus Farmasi dan Alat Kesehatan (KFA) adalah kamus yang memuat kode unik produk farmasi dan alkes sehingga dapat digunakan dan diintegrasikan pada semua sistem yang digunakan pelaku industri kesehatan. Kamus ini menggunakan satu kode unit yang spesifik untuk setiap obat dan alat kesehatan.

Konsep Kamus KFA dimulai dari Identifikasi – Interoperabilitas – Nomenklatur dan Filtering Data. Struktur Obat dalam Kamus KFA: ada Bahan Zat Aktif – Produk Obat Virtual (POV) – Produk Obat Aktual (POA) – Produk Obat Aktual dalam Kemasan (POAK). Struktur Alkes: BMA Alkes – PAV Alkes – PAA Alkes – PPA Alkes. Kamus obat dan alat kesehatan ini harapannya dapat menjadi panduan saat perencanaan program bagi stakeholder baik di pusat maupun daerah.

Implementasi kamus KFA diimplementasikan dengan kualitas data yang valid dan benar melalui Website Farma Plus, SATUSEHAT Use Case, ASPAK, SATUSEHAT Logistik (sistem farmalkes yang terintegrasi) dan LKPP. Platform SATUSEHAT Logistik memastikan interoperabilitas data seluruh ekosistem industri kesehatan, khususnya di bidang farmasi dan alat kesehatan. Data yang terkumpul pada Platform SATU SEHAT Logistik dapat digunakan untuk menganalisa dan memonitor ketersediaan dan distribusi obat dan alat kesehatan secara nasional.

 

Prof. Dr. apt. Susi Ari Kristina, M.Kes. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada)

Analisis Situasi Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan untuk Produksi Obat dan Vaksin di Indonesia

Susi menyampaikan, kebijakan di negara maju mengenai vaksin yang bisa dicontoh antara lain kebijakan yang ada di China, USA dan Eropa. Di China, RnD sudah maju dengan pendanaan yang mencukupi. China memberikan prioritas tertinggi untuk R&D dalam bidang yang dianggap prospektif seperti protein terapi rekombinan, vaksin rekombinan, dan teknologi antibodi monoklonal. Sedangkan di USA: Pemerintah USA memberikan 102,3 miliar untuk biaya R&D pada 2021. FDA dan industri bekerjasama menciptakan obat-obatan baru melalui expedited review programs, yaitu opsi percepatan R&D secara independen atau Bersama dalam 4 terobosan: Fast track (jalur cepat), Breakthrough designation (jalur terobosan), Priority review (review prioritas), dan Accelerated approval (percepatan persetujuan). Lalu di Eropa, mayoritas negara di Eropa tergabung dalam the European Federation of Pharmaceutical Industries and Associations (EFPIA) dengan misi menciptakan lingkungan yang kolaboratif dan mendukung untuk berinovasi, menemukan dan mengembangkan obat dan vaksin baru dalam memenuhi kebutuhan masyarakat serta berkontribusi dalam perekonomian.

Sementara itu, salah satu perusahaan farmasi berdasarkan penelusuran pustaka yang tergolong baik yakni Pfizer. Salah satu kekuatan utama Pfizer dalam mengembangkan R&D adalah penguatannya di basic research dengan memegang konsep bahwa kolaborasi dan kemitraan adalah inti dari R&D, sehingga Pfizer menyambut peluang untuk bekerjasama dengan mitra penelitian di bidang akademisi, pemerintah, dan sektor swasta, misalnya dengan BioNTech, AbbVie, Biogen Inc., Broad Institute of MIT and Harvard, dan The Innovative Medicines.

Menurut Susi, secara umum masih terdapat gap antara Indonesia dengan negara maju, dimana produk yang diproduksi di Indonesia mayoritas merupakan me-too drug. Beberapa kendala yang dialami yaitu kebijakan yang cukup ketat dan dinamis, lamanya waktu yang dibutuhkan hingga tingginya biaya yang diperlukan.

Berdasarkan alokasi pendanaan penelitian untuk hilirisasi produk farmasi masih cukup rendah dibandingkan dengan negara lain, namun dalam 5-10 tahun terakhir alokasi pendanaan sudah mulai meningkat. Beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengakselerasi RnD di Indonesia seperti pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) klaster farmasi, adanya kebijakan TKDN dan insentif super tax deduction. Akan tetapi perlu adanya evaluasi apakah kebijakan yang ada saat ini sudah dapat memacu industri farmasi dalam melakukan riset dan pengembangan sediaan farmasi dalam negeri.

 

Pembahas:

Anis Fuad, S.Ked., DEA (Div e-Health PKMK/Dept. HPM FK KMK UGM)

Anis menyampaikan, sebelum ada Kamus KFA dari DTO Kemenkes, sudah ada aplikasi ASPAK berdasarkan Permenkes Nomor 31 Tahun 2018. ASPAK tidak hanya alat kesehatan, namun juga sarana dan prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan.

Anis menyampaikan beberapa rekomendasi yakni perlunya pengembangan nomenklatur alkes sesuai arsitektur yang perkembangan sistem informasi dan teknologi kesehatan; anggaran untuk pengembangan sistem analitik dan alat bantu pendukung lainnya; Investasi dalam perangkat keras dan perangkat lunak untuk analisis data; pengembangan panduan dan modul pelatihan penggunaan data ASPAK; dan penerapan teknik analisis data terkini untuk ekstraksi informasi dari ASPAK.

 

Risval Nafi (Direktur Infrastruktur atau OR Kesehatan BRIN)

Nafi menyampaikan bahwa jika kita ingin membandingkan kondisi terkait farmasi maupun alat kesehatan di Indonesia, seharusnya tidak hanya terhadap negara maju, namun juga dapat dengan negara berkembang, misal India. Misal salah satu yang menarik adalah kebijakan pajak ekspor di India itu free atau gratis. Kemudian, terkait pendanaan riset perlu dilihat kebutuhan agar kebijakan yang disusun dapat sesuai dengan kebutuhan tersebut.

Penutup

Forum Nasional Alat Kesehatan II ditutup oleh Prof dr Laksono Trisnantoro. Laksono menyampaikan terkait apa yang akan dilakukan kedepan seperti (1) Penyusunan indikator kebijakan ketahanan industri farmasi dan alat kesehatan yang sudah dirangkum dalam angket,; (2)  Workshop mengenai riset Implementasi pada bulan Januari 2024; dan (3) Forum Nasional III pada tahun 2024.   

Reporter: Fajrul FF (Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK UGM)

Editor: Wiwid

AGENDA - MATERI & VIDEO

UU Kesehatan dan Kegiatan Kebijakan Ketahanan Industri Obat dan Alkes sampai Desember 2023

WAKTU (WIB)

AGENDA/TOPIK

08.00 – 08.30

Registrasi peserta

08.30 – 08.40

Pembukaan (MC) – Ester febe , MPH

08.40 – 08.50

Pengantar Forum Nasional

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

MATERI   VIDEO

08.50 – 08.55

PANEL – 1

Pengantar Moderator: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

MATERI    VIDEO

08.55 – 09.15

Sesi 1.1

Pemaparan Mengenai Pasal-pasal dan PP UU Kesehatan terkait Ketahanan Industri Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Pembicara: Dr. Dra. Lucia Rizka Andalucia, Apt, M.Pharm, MARS (Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI)

Materi VIDEO

09.1510.30

Pembahasan dalam bentuk Talkshow

2)  Pembahasan tentang Ketahanan Kefarmasian

Narasumber: Pamian Siregar (Direktur Utama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia

MATERI     VIDEO

Pembahas:

Drs Elfiano Rizaldi  (Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia)

 

3)  Pembahasan tentang Ketahanan Alat Kesehatan

      Narasumber: Dr. Hargo Utomo, M.B.A. (FEB UGM)

       MATERI VIDEO

Pembahas:

      RD. Kartono Dwidjosewojo
      (Ketua Umum GAKESLAB Indonesia)

      VIDEO

      Imam Subagyo – Ketua ASPAKI

      VIDEO

10.30 – 10.45

Rehat

 

PARALEL

10.45 – 10.50

Sesi 1.2a:

Moderator: Apt Faradiba, M.Pharm  – >Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

Sesi 1.2b:

Moderator: Fajrul Fallah, MPH- PKMK FK-KMK UGM

10.50 – 11.00

Laporan Tahunan Ketahanan Industri Kefarmasian tahun 2022

Pembicara: Dr. Anwar Wahyudi, S.Farm, Apt.

Materi

Laporan Tahunan Ketahanan Industri Alkes Tahun 2022

Pembicara: Candra Lesmana, S.Farm., Apt., MKM (Tim kerja peningkatan dan fasilitasi TKDN Alkes dan penggunaan alat kesehatan dalam negeri)

MATERI

11.00 – 11.30

Pembahas:

  ProfDr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes – >Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

 Drs Elfiano Rizaldi  (Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia)

 The International Pharmaceutical Manufacturers Group of Indonesia (IPMG)

Pembahas:

 dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, SpA, MSc, Ph.D-Departemen Ilmu Kesehatan Anak, UGM / Technopark UGM

 RD. Kartono Dwidjosewojo (Ketua Umum GAKESLAB Indonesia)

 Imam Subagyo – Ketua ASPAKI

11.30 – 12.00

Diskusi

Diskusi

12.00 – 13.00

ISHOMA

 

13.00 – 13.05

PANEL – 2

Moderator: Prof. Dr. apt. Bondan Ardiningtyas, M.Si. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada/ PT Swayasa Prakarsa)

 

Sesi 1.3:

Situasi Dunia

13.05 – 13.20

1. Global regulation for procurement terkait dengan Produksi Lokal dan NIE

Pembicara: Pusat studi Perdagangan UGM

        Materi  VIDEO

13.20 – 13.35

2. Benchmarking Local Production di berbagai negara.

Pembicara; Drs. Ondri Dwi Sampirno,M.Si Apt (Tenaga ahli dan peneliti kebijakan farmasi)

MATERI      VIDEO

13.35 – 13.40

Diskusi

 

Sesi 1.4:

Situasi Regulasi di Dalam Negeri

13.40 – 13.55

   Situasi di Tahun 2023 dan Outlook ke Tahun-tahun Mendatang

Pembicara: Roy Himawan, S.Farm., Apt., M.K.M. (Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI)

Materi VIDEO

14.10 – 14.30

Pembahas:

 Ikhsan Aminuddin – Director of Offering Development and Client Services at IQVIA Asia Pacific

    VIDEO

 Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden)

    VIDEO

14.30 – 14.40

Diskusi

14.40 – 14.55

Sesi 1.5:

Kegiatan di tahun 2023 dan Outlook

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

  Materi  VIDEO

14.55 – 15.00

Penutup Hari ke-1 (MC)

 

 

Penelitian-penelitian Terbaru dalam Industri Obat dan Alat Kesehatan

WAKTU

AGENDA/TOPIK

08.00 – 08.05

Pembukaan – Ester febe, MPH (MC)

08.05 – 08.10

Rangkuman hari 1

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

MATERI       VIDEO

08.10 – 08.15

PANEL

Moderator: Apt. Rasta Naya Pratita, MKM – Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

08.15 – 08.55

Sesi 2.1. Diskusi mengenai Metode Riset Kebijakan dalam Monitoring dan Evaluasi UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Pembicara:

dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D.: Riset Implementasi

    MATERI VIDEO

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.: Realist Evaluation

    MATERI VIDEO

08.55 – 09.15

Diskusi

 

PARALEL: Hasil-hasil penelitian

09.15 – 09.20

Sesi 2.2.a. Kefarmasian

Moderator: Apt Faradiba, M.Pharm  Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

Sesi 2.2. b. Alat Kesehatan

Moderator: Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo.

09.20 – 09.35

Estimasi Prevalensi, Dampak Kesehatan dan Ekonomi Obat-obatan di Bawah Standar dan Palsu dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia

Pembicara: apt. Hesty Utami R, M.Clin.Pharm., PhD. (CEPHAS, Universitas Pancasila)

MATERI 

Percepatan Pembangunan Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan (UPAK) di Daerah untuk Mendukung Pengelolaan Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan yang Lebih Baik di Indonesia

Pembicara: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, M.Kes. (PKMK FKKMK-UGM)

MATERI

 

09.35 – 09.50

Kajian Tata Kelola Obat JKN 2022: Peran BPJS Kesehatan dalam Belanja Obat Strategis

Pembicara: apt. Mawaddati Rahmi, M.Farm (CEPHAS, Universitas Pancasila)

MATERI

Studi Eksploratif Pelaksanaan Research and Development Industri Alat Kesehatan di Indonesia

Pembicara: Dr. apt. Bondan Ardiningtyas, M.Sc. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada).

 

09.50 – 10.05

Penelitian tentang Harga Obat dengan BBO Lokal Dibandingkan dengan Import

Pembicara: Elza Gustanti, S.Si, Apt, M.H (Ditjen Farmalkes Kemenkes)

MATERI

Studi Lapangan tentang Kebijakan Cyclotron-PET-CT di Australia dengan di Indonesia

Pembicara: Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt. (Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan, UGM)

10.05 – 10.20

Diskusi

Diskusi

10.20 – 10.35

Rehat

10.35 – 10.40

PANEL

Moderator: Apt. Rasta Naya Pratita, MKM – Pusat Studi Kebijakan Farmasi Universitas Pancasila

10.40 – 11.40

Sesi 2.2

Diskusi Mengenai Data Kamus Industri Farmasi dan Alat Kesehatan oleh DTO; Membuka Era Baru untuk Penelitian Kebijakan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan

Pembicara: Suryatri Boni – DTO Kemenkes 

MATERI VIDEO

Analisis Situasi Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan untuk Produksi Obat dan Vaksin di Indonesia

Pembicara: Prof. Dr. apt. Susi Ari Kristina, M.Kes. (Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada)

MATERI VIDEO

Pembahas:

  –  Anis Fuad, S.Ked., DEA (Div e-Health PKMK/Dept. HPM FK KMK UGM)

VIDEO

  –  Riswal Nafi Siregar_Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi (BRIN)

VIDEO

11.40 – 12.00

Diskusi

VIDEO

12.00 – 12.15

Penutup:

Apa yang akan dilakukan, termasuk Workshop mengenai Riset Implementasi

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

VIDEO

12.15 – 12.25

Lembar Evaluasi

12.25 – 12.30 

Menutup acara

 

 

Copyright © 2023 Fornas II Industri Obat dan Alkes – PKMK FK-KMK UGM