
\”Apakah masa pandemi adalah peluang untuk perkembangan atau sumber kemerosotan dalam dunia farmasi?\”
Pertanyaan inilah yang mewabahi pikiran para pekerja yang bekerja di industri farmasi. Jika kita melihat kembali ke masa lampau, Wabah Hitam atau Black Death pada tahun 1346-1353, flu pada tahun 1889-1890, dan 1918 dan 1968, pandemi kolera atau sixth cholera pada tahun 1910-1911, flu asia atau Asian Flu pada tahun 1956-1958 dan HIV-AIDs pada tahun 2005-2012, banyak industri yang mendapatkan dampak negatif, orang-orang mengalami gejolakan besar dalam kegiatan sehari-hari, jutaan meninggal dan dunia farmasi pun sangat terpengaruh. Pandemi saat ini – corona virus disease 2019 (COVID-19), menyebar sejak tahun 2019 hingga saat ini juga bukan pengecualian.
Seluruh finansial yang tergiring untuk pandemi dan pendanaan yang telah dimasukkan ke riset mengenai pandemi memberikan tanda bahwa COVID-19 telah menjadi sumber utama perkembangan\”
Dikarenakan oleh pergejolakan yang disebabkan pandemi COVID-19, toko-toko eceran farmasi mengalami kemerosotan pengunjung, yang memberikan dampak kerugian dalam pendapatan. Dalam jangka panjang, penurunan pendapatan dapat menyebabkan menurunnya jumlah toko farmasi eceran bahkan kehilangan. Penurunan pendapatan ini juga mempengaruhi produsen, karena permintaan produk farmasi berubah-ubah. Misalnya, melonjaknya permintaan alat pelindung diri (APD) dan over-the-counter (OTC) selama pandemi saat ini, serta panic-buying semakin memperparah dan mempersulit keadaan.
Pandemi juga bisa menyebabkan keruntuhan ekonomi suatu negara, yang dapat memperlambat perkembangan industri farmasi. Sebagai contoh, ketika Cina dan IndiA, dua pemasok utama obat umum di dunia yang terlibat dalam active pharmaceutical ingredients APIs menerapkan larangan ekspor karena COVID-19 menyebabkan kekurangan produk di berbagai negara yang memperlambat pengerjaan produk jadi dan kelangkaan obat, terutama di negara berkembang seperti Iran.
Selain itu, kekurangan APIs dan produk jadi menyebabkan harga melambung tinggi dan mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan menerima produk impor atau tidak. Beberapa negara juga meninjau balik aturan untuk membatasi impor obat umum dan APIs, seperti presiden Donald Trump yang menerapkan \’Buy American\’ sebagai pencegahan. Aturan-aturan juga ditinjau kembali agar mendapatkan persetujuan dan lisensi cepat untuk perawatan yang berhubungan dengan pandemi, yang diakses oleh negara-negara anggota World Trade Organization (WTO), menyebabkan kelambatan persetujuan terkait produk tidak terkait dengan pandemi.
Selain persetujuan perawatan atau vaksin-vaksin, perusahaan farmasi juga dikenakan pengawasan karena keuntungan besar yang mereka kenakan untuk menutupi investasi dalam Research and Development. Hal ini memicu dilema etika, karena beberapa dari mereka berjuang untuk memutuskan apakah harus berinvestasi dalam penelitian yang berpotensi menyembuhkan atau tidak, karena mendapat iming-iming meningkatkan reputasi mereka, jika mereka bisa menjadi perusahaan farmasi pertama yang memproduksi obat-obatan terkait pandemi. Lebih lagi, dampak pandemi pada penghidupan para pasien memberikan peluang untuk menerapkan strategi yang mendukung pasien. Menghadapi tantangan-tantangan ini, sembari menjunjung tinggi etika, menuntut perushaan farmasi memiliki kebijakan yang kuat.
Keberatan atau tidak, perusahaan farmasi dan penyedia layanan kesehatan berada di garis depan dalam memerangi pandemi. Salah satu contoh strategi dukungan pasien yang berhasil diterapkan selama pandemi COVID-19 adalah strategi dari Eli Lilly, yang membantu pasien kurang dana dengan mengarahkan pasien untuk mengenali sumber daya yang dibutuhkan menyesuaikan obat yang direkomendasikan, dan juga membantu mengurangi biaya resep di Pusat Diabetes Lilly. Meskipun membantu pasien, program semacam ini cenderung menyebabkan kerugian pendapatan jangka panjang untuk produk-produk bermerek.
Walaupun kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi tidak bisa dihindari, perusahaan-perusahaan farmasi terus menyumbangkan obat-obatan, pendanaan, layanan, dan lain-lain ke berbagai negara untuk meningkatkan perawatan kesehatan. Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, Bayer menyumbangkan tiga juta tablet obat antimalaria klorokuin, dan perusahaan-perusahaan farmasi lain menjanjikan lebih dari $155 juta untuk mendukung dana bantuan COVID-19, yang di antaranya adalah $50 juta dari Johnson & Johnson, $35 juta dari AbbVie, $20 juta dari Novartis, %10juta dari GlaxoSmithKline, $10 juta dari Biogen Foundation, dan $40 juta dalam bentuk hibah dan uang tunai dari Pfizer.
Kemurahan hati industri farmasi ini kemungkinan besar disebabkan karena mereka mendapatkan keuntungan finansial dari masa pandemi seperti ini. Misal, panic buying menyebabkan peningkatan penjualan dan menurunkan pembuangan produk kedaluwarsa. Maka dari ini, dapat dikatakan bahwa pandemi merupakan peluang bagi industri farmasi untuk berkembang. Selama gelombang awal infeksi virus COVID-19 di tahun 2019, permintaan obat penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, kolesterol dan lainnya juga meningkat karena kekhawatiran akan kelangkaan akibat laran ekspor di Cina dan India. Selain itu, kebijakan dunia terkait pemakaian masker wajah juga memicu permintaan produk APD dan obat peningkatan kekebalan tubuh dalam skala besar yang menguntungkan finansial perusahaan farmasi. Selain itu, beberapa perusahaan farmasi juga telah mengajukan Obat Untuk Yatim Piatu atau Orphan Drug Designation, yang memberikan manfaat pajak besar dan mencegah pasien mengetahui jenis-jenis obat murah. Remdesivir (Veklury), yang diproduksi oleh Gilead Sciences, adalah salah satu contoh obat terkait pandemi yang yang menerima label Obat Untuk Yatim Piatu.
Lebih lagi, karena fokus proyek penelitian bergeser fokus ke pengobatan terkait pandemi, pengembangan proyek-proyek lain yang tidak terkait dengan pandemi prosesnya tertunda atau peluncuran produknya terganggu.
Secara keseluruhan, pandemi membawa efek positif dan negatif bagi industri farmasi. Peningkatan kolaborasi dan tukar informasi mempercepat pengembangan vaksin dan mempertajam perawatan terkait infeksi COVID-19. Keuntungan finansial dari efek pandemi dan proses pendanaan yang ditujukan kepada penelitian terkait pandemi menandakan bahwa COVID-19 telah menjadi sumber perkembangan, bukan kemerosotan, bagi industri farmasi.
Penulis: Ezeokafor Ifeoma Charity (Manajer Operasional Eksekutif di Remfall Healthcare)
The pandemic and the pharmaceutical world (europeanpharmaceuticalreview.com)
Leave a Reply