Webinar Kajian Pemanfaatan Fleksibilitas Regulasi Internasional dalam Penyediaan Obat

Forum Kebijakan Industri Farmasi menyelenggarakan

Webinar

Kajian Pemanfaatan Fleksibilitas Regulasi Internasional
dalam Penyediaan Obat

Jumat, 11 Februari 2022 | Pukul 13.00-15.00 WIB

Kerangka Acuan Kegiatan & Materi Reportase

Pengantar

Keterbatasan akses masyarakat terhadap obat – obatan dan berbagai produk kesehatan lainnya masih menjadi isu yang belum terselesaikan di negara berkembang hingga saat ini, termasuk Indonesia. Perlindungan paten terhadap obat menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak dapat memperoleh obat yang berkualitas dengan harga yang murah. Di satu sisi, paten yang memberikan insentif kepada penemu obat diharapkan dapat meningkatkan pengembangan obat baru di industri farmasi karena tingginya biaya riset dan lamanya waktu pembuatan obat. Namun, di sisi lain, hal ini menyebabkan pemegang paten memiliki hak monopoli untuk menentukan harga jual obat sehingga harga obat tersebut menjadi terlampau tinggi bagi masyarakat, khususnya di negara – negara sedang berkembang.

Ketentuan mengenai perlindungan paten terhadap obat – obatan ini ditetapkan dalam The Agreement on Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Aturan yang terkandung dalam TRIPs ini wajib dipatuhi oleh setiap anggota World Trade Organization (WTO). Indonesia yang menjadi salah satu negara yang mengesahkan keikutsertaannya melalui Undang – Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) pun harus menyelaraskan setiap peraturan perundang – undangan di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan ketentuan yang ada di dalam TRIPs.

Kontroversi antara negara – negara maju yang dipandang memanfaatkan posisi negara berkembang sebagai pasar dari obat dan produk kesehatan lainnya pun akhirnya diakomodir dalam Doha Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health. Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO berhak untuk mengambil langkah – langkah dalam melindungi kesehatan masyarakat, khususnya dalam rangka memberikan akses terhadap obat – obatan bagi semua kalangan. Hadirnya deklarasi ini menjadi peluang bagi negara sedang berkembang untuk mengatur lebih lanjut fleksibilitas dalam TRIPs.

Apakah ada Pengecualian?

Saat ini, Indonesia telah memiliki dua peraturan yang mengecualikan ketentuan TRIPs mengenai perlindungan paten terhadap produk farmasi. Pertama, UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten) yang mengatur tentang impor paralel, lisensi wajib, dan pelaksanaan paten oleh pemerintah. Kedua, Perpres Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral yang memberikan akses terhadap obat penyakit HIV/AIDS yang saat itu masih dilindungi paten.

Bagaimana di masa Pandemik Covid19?

Dalam konteks Pandemik Covid19, terdapat banyak ruang yang dapat digunakan Indonesia untuk dapat memanfaatkan fleksibilitas regulasi Internasional secara maksimal.  Selain TRIPs, perlu dilihat juga ketentuan tentang pengecualian – pengecualian dalam GATT 1994 yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.

Tim Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan melakukan kajian ilmiah dan analisa pemanfaatan fleksibilitas regulasi Internasional dalam penyediaan obat dan berbagai produk kesehatan lainnya sangat dibutuhkan dalam rangka Kementerian Kesehatan menyusun strategi untuk menjamin ketersediaan obat dan produk kesehatan lain kepada masyarakat. Hasil pengkajian ini nantinya dapat menjadi rekomendasi dan dasar acuan untuk menyusun kebijakan dalam penyediaan obat dan kemandirian sediaan farmasi di Indonesia. Oleh karena itu, forum kebijakan industri farmasi bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM mengadakan webinar untuk mendiskusikan hasil kajian pemanfaatan fleksibilitas regulasi internasional dalam penyediaan obat.

Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk membahas hasil kajian pemanfaatan fleksibilitas regulasi internasional dalam penyediaan obat

Narasumber

Pengantar

  • dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan)

Pembicara

  1. Prof. M. Hawin, S.H., LL.M,  Ph.D
    Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
  2. Dr. apt. Dwi Endarti, S.F., M.Sc
    Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)
  3. Dr. Riza Noer Arfani, M.A.
    Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM)

Moderator

  • Dr. Susi Ari Kristina, S.Farm., M.Kes., Apt
    Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)

Sasaran Peserta

  1. Pelaku Industri Farmasi
  2. Peneliti dan Konsultan Kebijakan Industri Farmasi
  3. Analis kebijakan di Perguruan Tinggi  dan lembaga swasta
  4. Mahasiswa pascasarjana.

Susunan Acara

Waktu Topik Narasumber/PIC
13.00 – 13.05 Pembuka MC
13.05 – 13.10 Pengantar Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

VIDEO

13.10 – 14.55 Moderator : Dr. Susi Ari Kristina, S.Farm., M.Kes., Apt
Kajian Pemanfaatan Fleksibilitas Regulasi Internasional dalam Penyediaan Obat

 

Tim Peneliti UGM

1.   Prof. M. Hawin, S.H., LL.M, Ph.D

Materi VIDEO
2.   Dr. apt. Dwi Endarti, S.F., M.Sc

Materi VIDEO

3.   Dr. Riza Noer Arfani, M.A.

Materi VIDEO

Tanya Jawab Moderator : Dr. Susi Ari Kristina, S.Farm., M.Kes., Apt

VIDEO

14.55 – 15.00 Penutupan MC

VIDEO

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Hari, tanggal            : Jumat, 11 Februari 2022
Pukul                         : 13.00 – 15.00 WIB
Lokasi                        : tempat masing – masing

Narahubung
Nindya (081328228865)

Reportase

Kajian Pemanfaatan Fleksibilitas Regulasi Internasional dalam Penyediaan Obat

11 Februari 2022

 

Pada Jumat, 11 Februari 2022 Forum Kebijakan Industri Farmasi bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Webinar Kajian Pemanfaatan Fleksibilitas Regulasi Internasional dalam Penyediaan Obat. Webinar ini menghadirkan 3 pembicara yang merupakan tim peneliti UGM yaitu  Prof. M. Hawin, S.H., LL.M, Ph.D (Guru Besar Fakultas Hukum UGM), Dr. apt. Dwi Endarti, S.F., M.Sc (Dosen Fakultas Farmasi UGM) dan Dr. Riza Noer Arfani, M.A. (Ketua Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM). Pemaparan materi dipandu oleh moderator yaitu Dr. Susi Ari Kristina, S.Farm., M.Kes., Apt (Dosen Fakultas Farmasi UGM).

Dalam sesi pengantar, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan) memaparkan fungsi dari website www.industri-obat-alkes.net sebagai Knowledge Management tentang Industri Obat dan Kesehatan. Website ini disiapkan dalam rangka diseminasi informasi & pengetahuan untuk meningkatkan ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan pentingnya kemandirian industri farmasi. Website ini memuat berbagai isu terkini dalam bidang industri obat dan alkes serta berbagai dokumentasi webinar maupun forum nasional yang telah terlaksana.

Sesi pemaparan materi pertama disampaikan oleh Hawin yang menjelaskan analisis tentang fleksibilitas regulasi internasional. Contoh fleksibilitas pada regulasi internasional dapat ditemukan dalam TRIPS antara lain pengecualian paten untuk kepentingan umum dan moralitas, pengecualian perlindungan paten untuk obyek – obyek tertentu, ketentuan yang bersifat netral tentang legalitas impor paralel, pengecualian umum, ketentuan tentang lisensi wajib dan penggunaan pemerintah, ketentuan tentang impor produk farmasi hasil lisensi wajib dan penggunaan pemerintah, serta fleksibilitas tentang perlindungan pengetahuan tradisional. Hawin juga menambahkan bahwa fleksibilitas ini sudah dimanfaatkan dalam peraturan perundangan di Indonesia saat ini. Adapun peraturan tersebut ialah ketentuan tentang impor paralel, Bolar Exception, dan lisensi wajib, pelaksanaan paten oleh pemerintah (Government Use), perlindungan pengetahuan tradisional dalam UU Paten 2016. Kajian penelitian yang telah dilakukan merekomendasikan pemerintah untuk terus memanfaatkan fleksibilitas yang sudah diatur di Indonesia serta mengamandemen UU Paten 2016. 

Dwi menyampaikan kondisi saat ini terkait akses obat dan bagaimana memanfaatkan fleksibilitas regulasi internasional di Indonesia yang terkait dengan akses obat. Akses terhadap obat ditentukan dengan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial. Pendekatan inovatif untuk meningkatkan akses terhadap obat di negara berkembang telah dilaksanakan, antara lain dengan peningkatan kerja sama baik dalam pengembangan produk maupun kerjasama sektor publik dan swasta, perbedaan pricing obat, serta kebijakan terkait hak milik intelektual. Indonesia sendiri sudah menerapkan fleksibilitas internasional ini melalui penggunaan pemerintah (Government Use) melalui peraturan pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat antiretroviral. Pelaksanaan kebijakan tersebut dinilai cukup baik, namun Indonesia masih perlu mendorong perkembangan penemuan obat baru.

Riza memaparkan praktik komparatif terkait pelaksanaan fleksibilitas regulasi Internasional di negara maju, negara berkembang ASEAN, dan negara berkembang non ASEAN. Kanada merupakan salah satu contoh negara yang paling awal menerapkan fleksibilitas WHO TRIPS mulai sekitar tahun 1969. Saat ini negara – negara di ASEAN dan non ASEAN juga sudah melaksanakan fleksibilitas ini terutama terkait obat – obatan HIV/AIDS. Implementasi WTO GATT dalam konteks multilateral antara lain restriksi perdagangan dan aspek transparansi. Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, berbagai negara melakukan restriksi ekspor atas sejumlah komoditas produk untuk penanganan pandemi seperti produk pelindung wajah dan mata, produk APD dan sarung tangan, dll. Pelaksanaan restriksi ini harus diikuti dengan aspek transparansi dimana negara yang melakukan restriksi harus menyampaikan notifikasi terhadap WTO. Namun, aspek ini cenderung diabaikan dimana hanya ada 13 negara anggota WTO yang melakukan notifikasi tersebut. Fleksibilitas internasional ini juga mendukung terjadinya berbagai skema kerjasama yaitu Regulatory Flexibility Framework (RFF), Pooled Procurement Mechanism (PPM) dan Medicine Patent Pool (MPP). Skema kerjasama internasional ini perlu terus diperkuat untuk mendukung penyediaan dan ketersediaan obat, bahan baku obat, dan produk farmasi lainnya seperti alat kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat koordinasi dan jejaring dengan kementerian dan lembaga terkait, kerjasama multilateral, regional, maupun bilateral.

Sesi diskusi berlangsung menarik dan komprehensif terkait fleksibilitas regulasi Internasional dalam penyediaan obat.

  1. Apa definisi dari keadaan darurat dalam fleksibilitas TRIPS?
    Hawin : TRIPS agreement tidak dijelaskan pengertian keadaan darurat. Negara dipersilakan untuk mengatur sendiri definisi dari keadaan darurat.
    Dwi : Indonesia memfokuskan terhadap obat penyakit menular dengan burden yang tinggi. Tiap negara memiliki pengukuran yang berbeda terhadap pilihan obat.
  2. Apakah ketiadaan PP/Perpres sebagai turunan UU/PP terkait paten adalah sumber permasalahan di Indonesia? Pelaksanaan implementasi pelaksanaan Paragraf 6 Deklarasi DOHA, apakah Indonesia sudah mengadopsi pengaturan ekspor/impor produk farmasi yg diperoleh melalui mekanisme lisensi wajib /compulsory licencing?
    Hawin : Tidak adanya peraturan terkait government use saat itu menyebabkan pemerintah tidak berani untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan atau lainnya terkait hal tersebut. Belum pernah ada lisensi wajib.
    Riza : wilayah abu-abu untuk mengatur mekanisme ekspor dan impor lisensi wajib. Bisa belajar dari ketegasan negara maju diikuti koordinasi lintas sektoral seperti di Kanada.
  3. Bagaimana hubungan fleksibilitas regulasi internasional dengan harga obat? Apakah dalam pengadaan produk obat paten regulasi internasional dilakukan seluruh distributor atau distributor khusus?
    Hawin : Salah satu fleksibilitas internasional yang mempengaruhi harga obat yaitu dengan pelaksanaan impor paralel (mengimpor dari pihak ketiga).
    Dwi : Ada distributor khusus yang ditunjuk.
  4. Mohon penjelasan lebih lanjut terkait parallel imports terkait pengecualian paten farmasi.
    Hawin : Selain impor paralel yang sudah dijelaskan, salah satu contoh paralel yang lain yaitu round trip parallel import dimana suatu negara A mengimpor kembali suatu obat ke negaranya melalui negara lain yang telah membeli lisensi obat tersebut. Impor paralel tidak hanya untuk produk farmasi, namun termasuk juga hak cipta seperti buku. Namun di Indonesia masih hanya berfokus pada produk farmasi.
  5. Untuk Pooled Procurement Mechanism, sudah sejauh manakah ini diterapkan? Selama ini produsen obat selalu menjadi “kambing hitam” atas issue obat mahal. Mungkin dengan PPM ini, bisa meningkatkan bargaining power kepada produsen bahan obat.
    Riza : Pooled Procurement Mechanism menekankan adanya kerjasama antara produsen dan konsumen. Salah satu skema PPM adalah Medicine Patent Pool (MPP) dimana  pemerintah merupakan aktor kunci untuk menjembatani kepentingan produsen dengan pemerintah di negara LMIC yang tidak memiliki akses obat mahal. Perlu kajian lebih lanjut terkait potensi kerjasama di Indonesia.
  6. Selain kajian TRIPS, sejauh mana fleksibilitas kebijakan nasional terhadap ketentuan perdagangan internasional berkaitan dengan Local Content Requirement/TKDN, yang pada hakikatnya bertentangan dengan aturan GATT maupun TRIMS? Upaya apa saja yang sebaiknya disiapkan pemerintah Indonesia untuk menjawab tuntutan negara – negara WTO yang menilai Indonesia diskriminatif terhadap produk – produk impor dengan melakukan restriksi, apakah waiver sebagai negara berkembang dapat diterapkan untuk konteks ini?
    Riza : Aktor tidak hanya anggota WTO, namun juga pelaku perdagangan yaitu industri. Diperkenalkan pola perdagangan yang berkembang yaitu Global Value Chain dengan fokus kajian industri. Namun kajian ini belum sampai terkait industri obat. Kajian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana Indonesia perlu bersikap terkait hal ini. TKDN sebenarnya telah out of date, karena kita tidak bisa benar – benar memeriksa atau mendefinisikan apakah bahan tersebut benar-benar lokal karena sudah tercampur-campur dalam proses manufacturing. Sinergi antar K/L seharusnya bisa menggambarkan posisi industri farmasi Indonesia ada dimana.

Seminar ini tidak berhenti disini.  Berikut agenda selanjutnya dalam industri farmasi yaitu; 

  1. TKDN sebagai milestone dan penggunaan Project Management dalam pengembangan produk farmasi : 17 Februari 2022 pukul 13.00-15.00 WIB
  2. Situasi saat ini dan Career-Path Peneliti Farmasi: Perbandingan antara Indonesia dan Australia : 24 Februari 2022 pukul 14.00-16.00 WIB

Sampai bertemu kembali!

 

Reporter: dr. Nindya Widita (PKMK)

COMMENTS