Reportase SEMINAR NASIONAL Kebijakan Siklotron PET-CT Di Indonesia: Belajar Dari Australia Dan Implikasinya Dalam Peningkatan Pelayanan Deteksi Dini Cancer di Indonesia.

Reportase

SEMINAR NASIONAL
Kebijakan Siklotron PET-CT Di Indonesia:
Belajar Dari Australia Dan Implikasinya Dalam Peningkatan Pelayanan Deteksi Dini
Cancer di Indonesia.

 


Sleman – Pada 27 Desember 2023, Direktorat Penelitian UGM, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK UGM) dan Pusat Studi Indutri Farmasi UGM  menggelar seminar Kebijakan Siklotron PET-CT di Indonesia: Belajar dari Australia dan Implikasinya dalam Peningkatan pelayanan Deteksi Dini Kanker di Indonesia. Kegiatan diselenggarakan di Ruang Sekip, UC, UGM dan diikuti 200 peserta secara daring serta 60 peserta luring.

Sambutan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.
Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Kesehatan Industri Obat dan Alat Kesehatan

Menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., cyclotron menjadi agenda kebijakan yang mengejutkan, karena data menunjukkan bahwa di antara negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam, Indonesia hanya memiliki 3 cyclotron untuk 274 juta penduduknya. Agenda kebijakan menjadi sorotan melalui proses dari penentuan agenda, perumusan kebijakan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, perubahan kebijakan, serta keputusan lanjutan mengenai kelanjutan atau penghentian kebijakan tersebut dengan mereview kebijakan masa lalu apa yang terjadi.

Laksono menyampaikan bahwa Australia dianggap sebagai standar dalam usaha pengembangan sistematis cyclotron. Hal ini memungkinkan perbandingan kebijakan industri PET-CT antara Indonesia dan Australia. Fokusnya bukan hanya pada layanan konvensional, tetapi meliputi rangkaian proses dari tahap awal hingga akhir untuk memperkuat layanan ini.

Pihaknya juga menggarisbawahi pentingnya pengembangan kebijakan di Indonesia. Hal ini termasuk kebijakan publik yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat, kebijakan tentang radiasi, produksi obat-obatan, penerapan PET-CT dalam layanan kesehatan primer, dan kebijakan pendanaan yang mendukung implementasi kebijakan tersebut. Dalam pandangan Laksono, langkah-langkah ini diharapkan akan memberikan landasan yang kokoh untuk meningkatkan sistem kesehatan Indonesia.

Associate. Prof. Hans P. Wijaya
Pandangan dari Aspek Business dari Cyclotron

Hans P. Wijaya mengemukakan bahwa 80% dari pasar teranostik di Australia lebih terfokus pada terapi, sedangkan hanya 20% pada diagnostik. Perhatian pada penggunaan cyclotron untuk PET-Scan di Indonesia hanya mencapai 20% dari potensi pasar ini. Menariknya, meskipun layanan PET-Scan dan cyclotron sudah diperkenalkan di beberapa rumah sakit Jakarta sekitar 15 tahun yang lalu, sekitar 2007, namun pada  2023, jumlahnya masih stagnan dengan hanya 3 mesin yang beroperasi. Bahkan beberapa mesin tambahan PET-Scan tidak dapat beroperasi sebagai akibat dari keterbatasan cyclotron. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kekurangan apa yang terjadi di Indonesia.

Perbandingan dengan Australia menjadi perhatian tersendiri. Dengan populasi hanya 25 juta, Australia memiliki 100 mesin PET-Scan, sementara Indonesia dengan populasi 277 juta hanya memiliki 3 mesin yang beroperasi. Tidak hanya itu, beberapa mesin di Indonesia sering mengalami kerusakan dan memerlukan perbaikan yang memakan waktu cukup lama, memaksa pasien untuk mencari perawatan di luar negeri.

Han mengajukan pertanyaan kritis mengenai bagaimana perkembangan PET-Scan di Indonesia dapat mencapai dimensi yang seharusnya, tanpa hanya terpaku pada perspektif kompetensi. Diskusi terbuka pun muncul mengenai perlunya melihat PET-Scan dengan lebih holistik dan mengidentifikasi kesenjangan infrastruktur kesehatan Indonesia dibandingkan dengan negara lain, untuk menemukan strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terkait PET-Scan di Indonesia.

Sessi 1 : Siklotron PET – CT dan penggunaanya

Sesi 1 diisi oleh Dr. Ing. Kusnanto, M. Eng (Dosen Fakultas Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM), Dr. Destanul Aulia, SKM., MBA (Medan Medical Tourism Board/MMTB). Pembahasan Dr. Yuli Astuti Saripawan (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan), Dr. Hendra Budiawan, Sp. KN (Perhimpunan Kedokteran Nuklir-Teranostik Molekuler Indonesia (PKNTMI)) dengan tema  Siklotron PET-CT dan Penggunaanya

Dr. Ing. Kusnanto, M. Eng
Pemanfaatan Cycotron dan PET-CT di Indonesia

Dr. Ing. Kusnanto, M. Eng, berbicara tentang produksi radioisotop, khususnya dalam bentuk radiofarmaka yang menggunakan Tuber label dengan F18. Kusnanto menjelaskan bahwa untuk produksi FGD dalam bentuk radiofarmaka dengan label F18, komponen utamanya adalah memiliki target yang akan diubah menjadi F18, yang pada dasarnya bisa berasal dari air sederhana. Meskipun Malaysia memproduksi sekitar 10 juta hingga 10,5 juta komponen tersebut. Kusnanto meyakini bahwa Indonesia memiliki potensi yang lebih besar, terutama jika menyangkut masalah manajemen.

Dalam konteks teknik nuklir, Kusnanto menekankan pentingnya pembelajaran, mengingat adanya radioisotop dan isotop yang dapat ditemukan dalam oksigen, seperti A16 dan A18. Sertifikasi atas operasional alat produksi isotop diberikan oleh Bapeten, deputi perizinan.

Pihaknya menyoroti pentingnya pemahaman mendalam dalam bidang teknik nuklir karena ini menjadi dasar dari produksi radioisotop dan isotop yang memiliki peran krusial dalam berbagai aplikasi medis dan industri.

Dr. Destanul Aulia, SKM., MBA
Pengalaman Penggunaan Cyclotron PET-CT di Australia: Menghempas Wisatawan Medis Sumatera Utara

Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi UGM dan Ketua MMT-B melakukan perjalanan ke Australia untuk mengembangkan teknologi PET-CT. Sumatera Utara menjadi pusat perhatian karena berbatasan langsung dengan negara tetangga dan mengalami peningkatan kunjungan wisatawan medis. Australia telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam pengembangan industri radiofarmaka selama 30 tahun, dengan mengadopsi model kolaborasi antara sektor pemerintah dan swasta. Di Indonesia, pendekatan tenaga kerja kesehatan yang beragam membuka potensi untuk mengelola layanan PET-CT dan cyclotron lebih efektif, tetapi masih ada tantangan dalam layanan onkologi yang perlu ditangani. Meskipun ada kemajuan dalam pelayanan dan pemasaran di MMTB 2021-2023, perkembangan teknologi PET-CT dan cyclotron memerlukan perencanaan lebih lanjut guna meningkatkan layanan kesehatan yang lebih maju.


Pembahas

drg. Yuli Astuti Saripawan, M.Kes
Kebijakan PET-CT dan Cyclotron dalam Pemenuhan Pelayanan Kedokteran Nuklir

Yuli Astuti dari Kementerian Kesehatan menjelaskan langkah-langkah yang diambil dalam transformasi layanan kesehatan. Mereka melakukan mapping dan evaluasi terhadap jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri untuk meningkatkan akses dan mutu layanan. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat tak perlu berobat ke negara tetangga, terutama untuk layanan khusus seperti onkologi.

Kementerian Kesehatan juga membangun jejaring Rumah Sakit Pengampuan untuk 10 layanan prioritas, termasuk layanan kanker. Kemenkes membagi rumah sakit menjadi kategori paripurna, utama, dan media, dengan alokasi PET-CT dan cyclotron sesuai kapasitasnya. Ada pula keterlibatan swasta dalam mengamankan peralatan kesehatan kedepannya. Dalam pemetaan layanan kesehatan, Kemenkes telah mengalokasikan PET-CT dan cyclotron di beberapa rumah sakit strategis seperti RS Dharmais, RS Cipto Mangunkusumo, dan RS Hasan Sadikin. Melalui kerja sama dengan sektor swasta, langkah-langkah ini diharapkan akan meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.

Sessi 2 : Regulasi Dalam Penggunaan Siklotron PET-CT dan Radiofarmaka

Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt. (Kepala Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan) bersama Vemy Primastuti S.Si., Apt. (Inspektur CPOB BPOM RI)

Hilda menyampaikan bahwa Therapeutic Goods Administration (TGA) di Australia yaitu lembaga seperti BPOM. TGA mengakui adanya kompleksitas sendiri terkait regulasi terkait radiofarmaka dan merupakan topik yang challenging di banyak negara. Regulasi radiofarmaka didasarkan pada pendekatan berbasis risiko yang proporsional.

Radiofarmaka dibebaskan kewajiban dari registrasi jika: a) Berdasarkan resep dokter; b) Dispensing oleh rumah sakit untuk penggunaan sendiri atau rumah sakit lain yang berada di negara bagian yang sama; c) Digunakan untuk produksi produk terapeutik; dan d) Radiofarmaka yang digunakan untuk uji klinik. Tidak ada pengecualian dari pemenuhan terhadap standar. Standar berlaku untuk semua radiofarmaka yang perlu izin edar, tanpa izin edar yang dikecualikan. Rumah sakit di Australia tidak diwajibkan untuk menerapkan GMP dan produk yang diproduksi tidak wajib mendapatkan izin edar.  Standar radiofarmaka di RS menjadi tanggung jawab provinsi, dimana Pharmacy Regulator sebagai Local Territory Pharmacy Group. Sedangkan untuk radiofarmaka impor, berlaku standar pengawasan yang sama oleh TGA sebagaimana non radiofarmaka.

Implementasi PET CT di Australia yaitu ada pembebasan persyaratan untuk beberapa barang terapi, PET-CT dapat dilaksanakan oleh klinik pelayanan primer, artinya tidak harus di rumah sakit, dan Pengaturan sistem pengiriman radiofarmaka FDG diijinkan melalui udara, yaitu terdapat kerjasama antara Cyclotek dengan Qantas Freight. Proteksi radiasi diatur Australian Government’s Primary Authority on Radiation Protection and Nuclear Safety.


Pembahas 1: Bayu Wibisono

Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif – BPOM

Bayu membenarkan bahwa memang ada beberapa fasilitas produksi radiofarmaka di Australia yang tidak diwajibkan GMP sesuai ketentuan regulasi yang berlaku di sana, namun ada 1 hal yang perlu ditekankan yakni terkait dengan standar dalam pembuatannya merupakan tangggung jawab dari pemerintah daerah, bukan terpusat di pemerintah pusat, sebagaimana berlaku di Indonesia, yaitu di Badan POM.

Benchmarking dengan Singapura, saat Scientific Visit Plt Ka Badan dan BAPETEN pada 27-29 November 2023. Kemenkes dan HSA (Health Sciences Authority) dan NSEA berkoordinasi erat dalam melakukan pengawasan.

Upaya BPOM untuk mendukung ketersediaan radiofarmaka saat ini dengan cara memastikan produk radiofarmaka yang diproduksi oleh industri dan RS tetap perlu memenuhi persyaratan monografi, produk radiofarmaka yang berasal dari cyclotron perlu dilakukan uji sterilitas & endotoxin sesuai dengan ketentuan pada farmakope, misal FDG, dan uji sterilitas dan endotoksin terhadap radiofarmaka yang berasal dari generator dapat ditetapkan melalui risk based approach.

Ke depan, BPOM mempunyai Rencana Tindak Lanjut (RTL) berupa sinkronisasi regulasi terkait produksi, distribusi, transportasi, dan izin edar radiofarmaka, tinjau ulang regulasi yang mampu laksana dalam pembuatan radiofarmaka steril di RS, penetapan masa transisi dalam implementasi standar dan regulasi radiofarmaka, serta intensifikasi pendampingan produksi RF dengan pelatihan keselamatan, workshop/ webinar/ diskusi online dan intensifikasi pendampingan sarana produksi radiofarmaka. Dukungan BPOM dalam sertifikasi CPOB fasilitas radiofarmaka: konsultasi, asistensi, desk pra sertifikasi, dan sertifikasi.

Koordinasi erat berbagai institusi pemerintah dan pemangku kepentingan sangat penting. Selain itu, tiap hasil benchmark yang dilakukan oleh BPOM akan menjadi pertimbangan penting dalam kajian atau tinjau ulang regulasi. BPOM juga memastikan akan mendukung segara prospek mengenai pengembangan radiofarmaka di Indonesia.


Pembahas 3 : Ahmad Hariri, Apt.

Tim Sekre di Dit Ketahanan Farmasi Kemenkes

Ahmad menyampaikan bahwa persebaran Cyclotron belum merata, masih berpusat di jawa walaupun dalam waktu dekat akan ada di Sumatera dan Kalimantan. Langkah selanjutnya untuk menghindari insanity yakni perlunya penguatan, inovasi dan agility yang dilakukan oleh pemerintah. Penguatan dalam ini perlu menambah jumlah dan kapasitas SDM Kapasitas transportasi, investasi. Sementara itu, yang dimaksud Inovasi yakni perlunya penataan penempatan dan pemanfaatan Cyclotron, pengaturan transportasi pengangkatan radiofarmaka, dan mekanisme pengawasan. Sedangkan, agility yang dimaksud adalah perlunya regulasi operasionalisasi terkait dengan regulasi distribusi, penyimpanan, penggunaan dan pengawasan; serta regulasi pembiayaan radioterapi.

Sessi 3 : Penyiapan Fasilitas dan SDM pada Pelayanan Siklotron PET-CT

Pembicara: Dr. Hanif Afkari, Sp.KN-TM (Dokter Ahli Madya Sub Bagian Kedokteran Nuklir-Teranostik Molekuler RSUP Dr. Sardjito) bersama Apt. Aditya Wisnusaputra, S.Farm. (Unit Radiologi RSUP Dr. Sardjito)

Hanif menyampaikan terkait perlunya penyiapan sumber daya manusia dan infrastruktur baik sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung kebijakan terkait siklotron. Kedokteran Nuklir terdiri dari 3 bagian yakni 1) Kedokteran Nuklir – 2) Teranostik Molekuler yakni suasi sistem yang mengintegrasikan tes diagnostic yang menargetkan karakteristik molekuler penyakit dengan ruang lingkup yakni diagnostik in vivo, in vitro, dan in vivtro; terapi mengobati dan paliatif; serta riset dan pengembangan. – dan 3) Triangle pattern (Human Resources, Radiofarmaka, dan Modalitas).

Distribusi pusat pelayanan kedokteran nuklir per konstruksi 2024 akan ada penambahan: 5 SPECT CT, 5 PET SCAN, dan 2 CYCLOTRON. PET CT adalah suatu modalitas yang berfungsi untuk visualisasi metabolisme tubuh menggunakan TRACER radioisotop pemancar positron. Oleh karena itu, citra (image) yang diperoleh adalah citra yang menggambarkan fungsional organ tubuh.

Regulasi terkait instalasi kedokteran nuklir ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1249 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kedokteran Nuklir dengan Menggunakan Alat PET-CT di rumah sakit dan KMK Nomor 1337 Tahun 2023 tentang KJSU, Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 17 Tahun 2012 tentang Keselamatan Radiasi Kedokteran Nuklir. Persyaratan terkait kelengkapan ruangan dan perlengkapan proteksi radiasi dalam kedokteran nuklir juga perlu dilengkapi agar mendapatkan izin dari BAPETEN.

Untuk pemenuhan SDM kedokteran nuklir, selama ini berpedoman pada KMK Nomor 8 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Kedokteran Nuklir di Sarana Pelayanan Kesehatan. Ada 3 kualifikasi, yakni pratama, madya dan utama. Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan adalah Technologist, Radiografer, PPR, Nurse, Analyst, Radiopharmacist, Radiochemist, dan Nuclear Medical Specialist. Instalasi Kedokteran Nuklir dipimpin oleh seorang Dokter Spesialis Kedokteran Nuklir-Diagnostik Molekuler (Sp.KN-TM) dan dibantu oleh staf yang kompeten sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai.

Aditya menambahkan bahwa CPOB Radiofarmaka RS memiliki dasar peraturan yakni PMK Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis Risiko Sektor Kesehatan. Persyaratan Infrastruktur terkait CPOB dimulai dari desain dan perencanaan dari aspek proteksi radiasi dari BAPETEN untuk izin konstruksi fasilitas dan aspek CPOB dari BPOM untuk pendampingan sertifikat CPOB. Kemudian, terkait persyaratan SDM, radiofarmaka di RS masih sangat kurang sekali. Saat ini baru ada 35 orang radiofarmaka di RS, dari 35 orang itu, baru ada 2 orang apoteker spesialis farmasi nuklir, maka dari itu perlu dilakukan transformasi kesehatan salah satunya dengan menambah Pusat Pendidikan Apoteker Spesialis Farmasi Nuklir untuk percepatan kebutuhan SDM.

Menurut Hanif, tantangan dan harapan terkait pelayanan PET-CT antara lain investasi yang tinggi dan bagaimana efektivitas biayanya, bagaimana layanan ini ada di dalam asuransi kesehatan BPJS, dan jika nanti muncul banyak permintaan maka perlu juga memikirkan bagaimana sumber daya yang optimal baik infrastruktur dan SDM.

Reporter: Fajrul FF & Indra Komala RN (PKMK UGM)


Rekaman Kegiatan Materi 

COMMENTS