Day 1: Thursday, 8 September 2022
Time (Indonesia) | Session |
1900-1910 | Welcome Remarks by Ir. Sodikin Sadek, Director of Medical Devices Production and Distribution |
1910-1920 | Opening Remarks by Dr. Lucia Rizka Andalucia, Director General of Pharmaceutical and Medical Devices Video |
1920-1930 | Introductory Remarks by David Stanton, Acting Director, Health Office, USAID Indonesia |
1930-2000 | Presentation of Landscape Analysis of Med-Device Industry in Indonesia by Dr. Hargo Utomo, Department of Management, University of Gadjah Mada |
2000-2100 | Topic: Quality Management System and Good Distribution Practices (Medical Devices and In Vitro Diagnostics) Speakers: Scope: |
2100-2200 | Topic: Artificial Intelligence and Software as a Medical Device Speakers: Reza Pramono, Chief Technology Officer, Digital Transformation Office, Ministry of Health, Indonesia Cassie Scherer, Director, Regulatory Policy, Medtronic Scope: Artificial Intelligence:
Software as a Medical Device:
|
END |
Day 2: Friday, 9 September 2022
0730-0830 | Topic: Pre-Clinical and Clinical Test/Evaluation of Medical Devices Speakers:
Scope:
|
0830-0930 | Topic: Electrical Safety and Performance for Medical Devices and IVDs Speakers: Indra Hardian Mulyadi, Head, Biomedical Technology Expertise Group, Batam State Polytechnic Scope: IEC Electrical Equipment |
0930-0945 | COFFEE BREAK |
0945-1045 | Topic: Post Market Surveillance of Medical Devices and IVDs Speakers:
Scope:
|
1045-1100 | Closing Remarks by Prof. Laksono Trisnantoro, Advisor to Indonesia’s Health Minister |
END |
Reportase
Regulatory Training on Medical Device Related Standards and Guidance
Sesi 1 – 8 September 2022
Pada Kamis (8/9/2022) pukul 19.00 – 22.00 WIB, COVID-19 Medical Device Regulatory Convergence Project (MDRC), sektor swasta dan publik yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat, antara U.S. Agency for International Development (USAID) serta American National Standards Institute (ANSI), berkolaborasi dengan the Advanced Medical Technology Association (AdvaMed), melibatkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta Universitas Gadjah Mada, menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Regulatory Training on Medical Device Related Standards and Guidance” Sesi 1.
Kegiatan dibuka oleh pengantar yang disampaikan David Stanton selaku Acting Director Health Office USAID Indonesia. David menyampaikan pelatihan ini hadir untuk memberikan pehamanan seputar standar dan pedoman yang digunakan dalam industri alat kesehatan untuk memastikan kualitas produk sehingga terlindungi dan berdaya saing baik secara nasional dan internasional. Pelatihan bertujuan untuk membantu Indonesia dapat mencapai ketahanan alat kesehatan yang menjadi salah satu pilar transformasi kesehatan.
Memasuki sesi materi pertama, topik “Landscape Analysis of Med-Device Industry in Indonesia” yang disampaikan oleh Dr. Hargo Utomo, MBA. Hargo mengungkapkan bahwa membangun industri alkes yang kuat dapat menjadi strategi utama untuk mewujudkan ketahanan industri pelayanan kesehatan. Kepercayaan masyarakat, terutama diantara tenaga kesehatan terhadap produk domestik menjadi kunci memacu riset dan inovasi di Indonesia. Hal tersebut dapat dibentuk dari bangku sekolah, melalui sistem pendidikan yang mampu memberikan paparan terhadap produk inovatif dari industri alkes domestik. Selain itu, keberadaan Science Technopark juga dapat mempercepat proses riset dan inovasi, yakni melalui sinergi lembaga perguruan tinggi, industri, dan pemerintah. Percepatan R&D dapat membantu mensubtitusi produk impor. Sehingga penting untuk memperkuat fasilitas, sarana dan prasarana untuk menunjang hal tersebut.
Narasumber kedua, Billie Jo Johnson selaku Specialist DEKRA MDSAP Audits, menyampaikan tentang sistem manajemen kualitas dan good distribution practice (medical devices and in vitro diagnostics). Materi membahas seputar ISO 13485:2016 untuk QMS alkes dan program audit tunggal alkes. Siklus audit MDSAP dilaksanakan setiap satu kali per tahun selama 3 tahun. Tipe audit terdiri dari audit inisial, surveilans, atau resertifikasi. Metode audit MDSAP membawa keuntungan bagi pemangku kebijakan. Proses dan bentuk laporan yang sama seperti yang digunakan organisasi lain, dapat memastikan peraturan yang diberlakukan tercantum selama audit, tidak mengganggu audit lain yang dilakukan mandiri (jika dibutuhkan), meningkatkan penggunaan sumber regulasi dengan lebih efisien dan fleksibel, serta laporan yang terstandar dapat memudahkan pencarian informasi yang sesuai dengan kebutuhan.
Sesi ketiga, dengan judul topik “Artificial Intelligence (AI) and Software as a Medical Device” dibawakan oleh 2 narasumber. Pertama, Reza Rudyanto Pramono sebagai Chief Technology Officer, DTO Kemenkes, menyampaikan bagaimana integrasi alkes berbasis AI untuk mendukung transformasi teknologi kesehatan yakni dalam peningkatan kualitas data dan memacu ekosistem kesehatan digital. Saat ini Indonesia telah mengembangkan platform “Satu Sehat” sebagai langkah awal mewujudkan hal tersebut. Di sisi lain, DTO juga membentuk “kotak pasir” regulasi untuk memacu perkembangan dan inovasi alat kesehatan yang membentuk ekosistem. Dalam mengembangkan dan mengimplementasikan pembelajaran mesin berbasis alkes, penting untuk memperhatikan interoperabilitas data dan sistem, etika kesehatan dan teknologi, pemerintahan, kebijakan, dan regulasi, serta manajemen resiko. Kemenkes juga membuka peluang untuk berkolaborasi jangka pendek dan panjang.
Kedua, Cassie Scherer sebagai Direktur Kebijakan Regulasi Medtronic dan Diane Johnson sebagai Senior Director Strategic Regulatory Affairs Johnson & Johnson MedTech menyampaikan seputar tantangan SaMD (Software as Medical Device) dan solusi untuk menghadapinya. Secara alamiah, perangkat lunak jelas berbeda dibanding alkes tradisional. Perangkat lunak memiliki iterasi cepat dan pengiriman data dengan volume besar, risiko yang unik (seperti keamanan siber), dan metode distribusi yang tidak memenuhi kaidah rantai pasokan fisik. Dalam mengatasi tantangan tersebut, IMDRF mengkonsiderasikan kualifikasi alkes yang sudah diatur dalam regulasi, klasifikasi risiko, evaluasi klinis terkait data yang dibutuhkan, dan sistem kualitas. Selain itu, dibutuhkan pendekatan inovatif untuk mampu mengelola perangkat lunak, termasuk AI.
Reporter: dr. Alif Indiralarasati (PKMK UGM)
Reportase
Regulatory Training on Medical Device Related Standards and Guidance
Sesi 2 – 9 September 2022
Pada Jumat (9/9/2022) pukul 07.30 – 11.00 WIB, COVID-19 Medical Device Regulatory Convergence Project (MDRC), sektor swasta dan publik yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat, antara U.S. Agency for International Development (USAID) dan American National Standards Institute (ANSI), berkolaborasi dengan the Advanced Medical Technology Association (AdvaMed) dan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta Universitas Gadjah Mada, melanjutkan pelatihan bertajuk “Regulatory Training on Medical Device Related Standards and Guidance” Sesi 2.
Kegiatan dibuka oleh materi yang disampaikan Alessandro Ferreira selaku Coordinator of Clinical Research in Health Products, Brazil Health Regulatory Agency (Anvisa) dan Felicia Haynes selaku Senior Principal Regulatory Affairs Specialist, Medtronic. Kedua pembicara menyampaikan topik “Pre-Clinical and Clinical Test/Evaluation of Medical Devices”. Tujuan IMDRF pada evaluasi klinis untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi tinjauan pre-market dengan meningkatkan harmonisasi global. Cara yang ditempuh antara lain; mengangkat dan mengevaluasi bukti klinis yang tersedia, mengurangi jumlah uji klinis berulang, mengintegrasikan prinsip tindak lanjut klinis post-market dan bukti lapangan, serta mengakselerasikan pengenalan alkes /teknologi yang efektif kepada pasien. Mereka juga menjelaskan aplikasi langsung dan siklus evaluasi klinis – produksi.
Selanjutnya dibahas topik “Electrical Safety and Performance for Medical Devices and IVDs” yang disampaikan oleh Indra Hardian Mulyadi, Ketua Kelompok Ahli Teknologi Biomedis, Politeknik Negeri Batam. Indra mengungkapkan bahwa bahaya dari alat medis listrik ada banyak dan dapat mencederai pasien, pengguna, atau kepada petugas pemelihara. Dasar regulasi yang mengatur keselamatan dasar dan kinerja esensial peralatan elektromedik dan sistem elektromedik adalah SNI IEC 60601. Sedangkan untuk alat diagnostik in vitro lebih banyak diatur dalam ISO 14708-13. Peralatan elektromedik sendiri secara definisi adalah peralatan listrik yang mempunyai bagian yang diaplikasikan atau memindahkan energi ke atau dari pasien atau mendeteksi pemindahan energi ke atau dari pasien, seperti pada EKG. Terdapat 3 tipe dan 3 kelas alat elektromedik.
Sesi terakhir, dengan topik “Post Market Surveillance of Medical Devices and IVDs” pertama disampaikan oleh Andrien Inoubli selaku Regional Adviser, Medical Products Regulation, WHO South-East Asia Regional Office. Andrien menyampaikan ruang lingkup surveilans pasca pasar adalah untuk memantau aktivitas post-market oleh produsen, timbal balik prosedur pengguna (tidak hanya aduan penggunaan saja), dan peninjauan pasar untuk pembuat kebijakan. Pedoman yang digunakan sebagai acuan utama adalah “WHO Guidance for post-market surveillance and market surveillance of medical devices, including in vitro diagnostics”. Pihaknya juga menjelaskan tentang seberapa jauh peran masing – masing pihak yang terkait dan referensi lain yang dapat digunakan.
Tanuj Shukla selaku Affiliate Liaison (Asia Pacific), Post Market Quality Roche Diagnostics, melanjutkan dengan “International Best Practices and Innovations in Adverse Event Reporting”. Materi membahas seputar rekomendasi IMDRF dalam pelaporan efek samping, teknis pelaporan hingga waktu terbaik untuk melapor. IMDRF merekomendasikan pelaporan maksimal 10 hari untuk kejadian yang mengancam kesehatan masyarakat, menyebabkan kematian, atau luka serius. Sedangkan rekomendasi untuk pelaporan malfungsi atau kejadian nyaris cedera dilakukan maksimal 30 hari. IMDRF juga menyarankan untuk menghentikan penerapan laporan berkala agar pelayanan dapat meningkat. Laporan berkala dinilai redundant dan hanya berisi ulasan data yang telah diolah oleh perusahaan. Terakhir, harmonisasi kepada best practice luar negeri juga perlu dipertimbangkan.
Terakhir, penutup diampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D. Beliau menjelaskan bahwa alur industri alkes dari pre-market hingga post-market sangat panjang sehingga sarat akan tantangan dan memerlukan regulasi yang mengikat seluruh pelaku di dalamnya. Di sisi lain, perkembangan ilmu alkes masih jauh tertinggal dibanding ilmu farmasi dan kedokteran. Materi yang disampaikan pada pelatihan ini juga belum dapat mencangkup semua aspek industri alkes. Diperlukan pertemuan kecil dengan tujuan khusus, pelatihan, dan studi banding dengan negara lain. Manajemen pengetahuan untuk alkes disusun berbasis laman dan telah dikembangkan masyarakat praktisi untuk industri alkes.
Reporter: dr. Alif Indiralarasati (PKMK UGM)
COMMENTS